WILAYAH Borneo (Kalimantan) sejak era kolonial Hindia Belanda, diprediksi bukan rawan gempa. Apalagi jauh dari deretan cincin api berupa gunung berapi. Tetapi kejadian beberapa hari yang lalu pada Selasa, 13 Februari 2024, pukul 09:22:24 WITA, seolah mematahkan prediksi tersebut.
Berdasarkan data Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), lokasi pusat gempa bumi terletak di darat berjarak sekitar 38,8 km timur laut Kota Martapura (ibu Kota Kabupaten Banjar, Provinsi Kalimantan Selatan), dengan magnitudo (M4,7) pada kedalaman 10 km. Banyak pihak menanyakan, “Kalimantan kok bisa gempa?”.
Sekilas Kalimantan memang punya sedikit sejarah gempa, namun apakah benar-benar terbebas dari gempa besar dan pecahan pecahan? tentunya tidak.
Catatan sejarah pun telah membuktikan beberapa kali gempa melanda wilayah Kalimantan, terutama wilayah Kalimantan Selatan sekarang. Kalimantan banyak terdapat patahan atau sesar. Garis patahan ini memanjang dan melintasi Pulau Kalimantan.
Terlepas aktif atau tidaknya sesar ini, yang pasti setiap sesar pernah mengalami tekanan dan kemungkinan besar masih menyimpan “energi” yang bisa terakumulasi. Melihat banyaknya sesar Kalimantan, bagaimana dengan data historis gempanya?
Catatan awal tentang gempa di wilayah Karesidenan Borneo bagian Selatan dan Timur (Sekarang area Kalsel, Kalteng, Kaltim dan kaltara) diintrodusir oleh Artur Wichmann yang menyebutkan gempa dan gelombang laut yang terjadi tanggal 10 April 1815. Sekitar dua abad atau 200 tahun lalu.
Pusat gempa besar tersebut ada di Pulau Sumbawa dan disebabkan erupsi Gunung Tambora. Hal ini berdampak gempa dan gelombang besar di wilayah Ambon (Amboina) hingga Kalimantan bagian tenggara (sekarang termasuk Kabupaten Tanah Laut, Tanah Bumbu dan Kotabaru). Sayang tidak terdapat catatan tentang dampak gempa tersebut. Demikian dituliskan dalam Katalog Tsunami Indonesia (2018).
Gempa di wilayah ini tidak hanya sekali terjadi. Dalam catatan tentang gempa di Hindia Belanda, khususnya di wilayah Borneo (Kalimantan) lebih lengkap dipaparkan Artur Wichman dalam disertasinya, The Earthquakes of the Indian Archipelago From 1858 to 1877.
Wichman dalam kajiannya membedakan antara daerah yang biasa terkena gempa dengan daerah yang rawan gempa.
Bahkan Wichman mendata daerah rawan gempa ini termasuk diantaranya Kalimantan, Bangka, Billiton, Kepulauan Riouw (Riau) serta Semenanjung Malaya.
Setelah gempa di tahun 1815, gempa kemudian terjadi lagi 47 tahun kemudian, tanggal 25 Desember 1862, yang melanda wilayah Tanah Laut, masih di area Karesidenan Borneo bagian Selatan dan Timur. Sayang tidak ada catatan detail gempa ini termasuk dampaknya.
Hanya berselang empat tahun, tepatnya tanggal 30 Agustus 1866 gempa bumi yang terjadi dari area Jawa Tengah hingga Jawa Timur hingga dan Madura, berdampak luas ke wilayah Tenggara dan selatan Kalimantan.
Gempa ini yang terjadi sekitar jam 9.30 pagi, getarannya sampai ke Kota Banjarmasin, berupa getaran kejutan tetapi lemah sehingga tidak berdampak serius.
Pada dasawarsa ini, gempa pun melanda lagi tujuh tahun kemudian pada 2 Oktober 1873, kali ini melanda wilayah Banjarmasin pagi menjelang siang jam 10.50. Berupa guncangan yang cukup kuat dengan durasi empat detik penuh. Sayang lagi lagi, tidak ada catatan dampak gempa ini.
Hanya berselang setahun, tepatnya 26 Juni 1874, jam 2 siang, gempa melanda hampir seluruh wilayah Kalimantan bagian selatan. Mulai dari Banjarmasin, Kandangan, Margasari, Barabai, hingga Amuntai and Tandjung, Amuntai Bureau, province of the South and East Bureau of Borneo. Gempa ini berupa guncangan yang terjadi selama empat kali berturut-turut.
Setelah gempa di pertengahan Abad ke-19 ini, minim sekali gempa yang terjadi hingga kemudian gempa besar melanda sebagian wilayah Banua Lima, pada malam hari tanggal 7 September 1902.
Gempa bumi tersebut terpantau di Tandjong dan wilayah lainnya yang termasuk wilayah Amoentai (Kalimantan). Sementara di Kota Bandjermasin, hanya sedikit guncangan terasa dari arah barat daya dan timur laut. Demikian pemberitaan yang secara bombastis dilansir Koran De locomotief, Samarangsch handels- en advertentie-blad dan De Avondpost (edisi 22 September 1902).
Gempa di abad 19 ini dianalisa oleh Han Knapen (2001) dalam tulisannya, "Forests of Fortune? The Environmental History of Southeast Borneo, 1600-1880. Menurut Knapen, Gempa bumi terjadi sesekali di wilayah Kalimantan bagian selatan dan timur antara tahun 1882 dan 1890.
Dari laporan bencana alam yang direkapitulasi pada laporan tahunan ke Batavia, sekitar empat gempa kecil dilaporkan terjadi di wilayah Banjarmasin. Tidak ada kerugian manusia atau material yang disebutkan.
Satu-satunya gangguan ekonomi yang disebabkan oleh gempa bumi, sejauh yang disebutkan dalam arsip, terjadi pada tahun 1667 ketika tanaman lada dikatakan rusak sebagian.
Meskipun buktinya terbatas, sangat mungkin bahwa gempa bumi lain dalam sejarah Kalimantan bagian Tenggara menyebabkan beberapa gangguan ekonomi atau ekologi ringan, misalnya menyebabkan hilangnya tanaman pertanian, merusak petak-petak hutan, atau mempengaruhi ketersediaan hasil hutan, seperti kapur barus.
Seperti halnya hujan abu vulkanik, gempa bumi meninggalkan jejak yang jelas dalam ingatan masyarakat Kalimantan, gempa-gempa besar tersebut terkristalisasi dalam agama, mitologi, dan sejarah lisan mereka.
Meskipun gempa bumi, hujan es, dan angin puyuh hanya berdampak kecil terhadap kehidupan manusia, hujan abu dari gunung berapi, badai, kebakaran hutan alam, dan banjir sering kali menyebabkan kerugian ekonomi dan gangguan ekologi.
Setelah gempa tahun 1902, tiga dasawarsa kemudian tepatnya tahun 1936 gempa kembali mengguncang Kota Banjarmasin. Seperti dirilis Koran Soerabaijasch Handelsblad dan De Sumatra post di edisi yang sama (29 Februari 1936) maupun koran Algemeen Handelsblad (edisi 01 Maret 1936).
Diberitakan bahwa Gempa bumi terjadi di Banjarmasin malam hari jam 11.45 menit (tanggal 28 Februari 1936 malam). Sayangnya era itu tidak tercatat kekuatan gempa dan sebagainya. Hanya dituliskan gempa bumi yang kuat yang berlangsung selama kurang lebih satu menit. Untung tidak ada kerusakan yang terjadi.
Gempa ini juga melanda wilayah Batavia (Jakarta) dua menit setelah di Banjarmasin, tepatnya malam jam 11.47. Arah pusat gempa masih belum bisa dipastikan akan tetapi diperkirakan berjarak sekitar 880 kilometer (47 mil) dari wilayah ibukota ini.(*)
*Mansyur
Dosen Program Studi Pendidikan Sejarah FKIP Universitas Lambung Mangkurat
Ketua Lembaga Kajian Sejarah, Sosial dan Budaya (LKS2B) Kalimantan