Data We Are Social menyebutkan, pengguna TikTok di dunia diperkirakan mencapai 1,05 miliar pada Januari 2023. Jumlah tersebut meningkat 18,8 persen dibandingkan pada tahun sebelumnya.
Pengguna TikTok paling banyak berasal dari Amerika Serikat. Tercatat ada 113,25 juta pengguna TikTok yang berasal dari Negeri Paman Sam pada awal tahun ini. Saking populernya Tik Tok di Amerika Serikat membuat pemerintah AS khawatir sehingga muncul rumor kalau Tik Tok menjadi alat intelijen dari pemerintah Cina.
Indonesia menyusul di urutan kedua dengan jumlah pengguna sebanyak 109,90 juta pengguna. Jumlah pengguna aktif di Indonesia kian besar seiring dengan pandemi. Laporan dari beberapa lembaga riset menyebutkan, pengguna Tik Tok bukan lagi generasi milenial, tetapi banyak Generasi X dan baby Boomer yang mulai merambah Tik Tok.
Di urutan selanjutnya adalah Brasil dan Meksiko dengan masing-masing pengguna sebanyak 82,21 juta dan 57,52 juta. Sebanyak 54,86 juta pengguna TikTok berasal dari Rusia. Ada pula 49,86 juta pengguna platform media sosial tersebut yang berasal dari Vietnam.
Laporan Business of Apps, menyebutkan, sampai 2021 pengguna TikTok di seluruh dunia didominasi oleh kelompok usia 20-29 tahun, dengan proporsi mencapai 35%. Kemudian pengguna dari kelompok usia 10-19 tahun berada di urutan kedua dengan proporsi 28% secara global. Ada juga 18% pengguna TikTok yang berusia 30-39 tahun, 16,3% berusia 40-49 tahun, dan 2,7% berusia di atas 49 tahun.
Kita bisa melihat betapa besarnya power yang dimiliki Tik Tok dalam memahami percaturan politik, baik di Indonesia maupun negara lain. Bahkan Tik Tok menjadi alat perlawanan dan ekspresi kaum muda melalui kemampuannya menyebarkan berbagai konten receh secara cepat dan massif.
Tik Tok mengingatkan saya pada fenomena New Power yang digambarkan Timms & Heimans (2018) sebagai pergeseran kuasa, dari kuasa yang basisnya formal ke kuasa yang ditandai oleh kerumunan, histeria, dan konten receh.