Opini

Di Tengah Duka Kita Merdeka

Oleh: Kadarisman HAMPIR saban hari ada kabar duka. Kemarin temannya dari kawan berpulang. Kenalan lama dikabari…

Featured-Image
Penulis merupakan Pemerhati Sosial Politik Banua. Foto-Ist

Oleh: Kadarisman

HAMPIR saban hari ada kabar duka. Kemarin temannya dari kawan berpulang. Kenalan lama dikabari telah tiada. Teman dekat ada juga telah kembali. Rekan sekerja, bahkan keluarga dekat pun sama, kabar masih tentang duka. Teramat sering kabar duka tahun ini. Kapan kita bisa melewatinya dan merdeka agar yang datang tak lagi kabar duka, namun juga tentang bahagia.

Tahun ini adalah tahun kedua bangsa kita berjibaku dengan wabah covid 19. Bahkan ini yang kedua kalinya bangsa kita memperingati kemerdekaan dengan keadaan yang lebih berat dari tahun lalu. Sungguh tahun yang tidak mudah, bersulam pula dengan kisah-kisah sedih dan pedih.

Kita tak lupa kisah seorang satpol PP beradu kekerasan dengan seorang ibu pemilik warkop di Gowa Sulawesi Selatan. Kisah viralnya menjadi kisah kisah lainnya yang mewarnai dinamika selama wabah covid 19 ini terjadi.

Ingat pula kita seorang anggota Paspampres yang kesabarannya diuji oleh sikap aparat di lapangan yang lelah dan tak bisa menghindar dari tugas dan perintah atasan walaupun harus bersinggungan dengan nilai humanisme.

Kemudian banyak warga bersitegang dengan aparat hanya karena soal masker, putar balik jalur lintasan kendaraan atau hanya sekadar komposisi isi penumpang dalam mobil. Celaan dan caci maki hingga proses hukum terjadi. Gambaran kesemuanya menunjukkan betapa banyak kita pun belum mampu merdeka dari egoisme sempit, dipengaruhi sangat rapi oleh lingkungan eksternal.

Jadi ketidakmampuan merdeka dari dorongan egoisme sempit menambah suram bagi kita menghadapi kenyataan-kenyataan kedukaan. Angka kematian Covid- 19 tahun ini meroket tinggi di tengah masifnya vaksinasi.

Orang-orang bersilang pendapat tentang hal ini. Banyak pertanyaan tak mampu terjawab dengan baik, hingga menimbulkan spekulasi yang belum tentu baik terkorelasi kepada pendapat dokter Louis Owen: interkasi obat itu pun viral bersamaan kabar duka dari penyintas covid yang berjatuhan.

Apalagi yang mesti kita lakukan. Semua kebijakan sudah dikeluarkan. Dari PSBB hingga PPKM yang bertingkat level tak juga membuat persoalan selesai. Atau barangkali persoalan kita bukan soal ikhtiar yang kurang hebat. Bukan pula upaya yang kurang maksimal. Bukan!

Tapi kepongahan dan merasa mampu untuk melakukan sesuatu dengan kekuasaan sendiri dengan menepikan Tuhan. Bukankah tugas manusia berikhtiar, tapi urusan Tuhan memberikan hasilnya. Jangan-jangan egoisme sempit kita selama ini sudah sampai pada tataran kesombongan: merasa mampu dan kuasa tanpa campur tangan Tuhan.

Banyak pertolongan Tuhan itu turun kepada hamba yang menjalankan ikhtiar terbaiknya, kebijakan terbaik, namun sadar diri bahwa urusan hasilnya adalah urusan prerogatifnya Tuhan.

Pemerintah melalui mandat rakyat memang diminta untuk mengerahkan semua kemampuannya dalam meramu kebijakan publik. Rakyat pun demikian diminta turut berikhtiar zahir yang selaras dengan kebijakan diambil dengan sebaik baiknya. Semua pihak mesti maksimal dalam menjalankan tugas. Namun pada hakekatnya, kita tidak diperkenankan mengandalkan kemampuan kita, lalu saling mengintimidasi.

Konsepnya bersandar kepada Tuhan atau surrunder menjadi kunci. Karena itu jangan pertentangkan konsep zahir dan konsep batin. Konsep protokol kesehatan dan konsep protokol ketuhanan.

Saatnya kita harus merdeka dari situasi seperti ini. Merdeka dari ruwetnya cara berpikir kita yang masih dibumbui noktah kebencian dan firkah berbedaan idelogi dan faham politik yang bercampur pula kepentingan korporasi.

Memerdekakan pikiran kita dari kepentingan apapun selain kebaikan sesuai kapasitas fitrah diri menjadi pintu masuk mengundang keajaiban Tuhan melewati wabah ini dari benteng pertahanan dalam diri masing-masing orang.

Keajaiban Tuhan hanya hadir pada jiwa-jiwa yang damai dan tenang, yang tak rusuh dan keruh serta kisruh.
Melalui semua fase sulit dengan bahagia, sejatinya menguatkan diri dari dalam untuk tidak bisa didikte apapun yang dari luar.

Dengan demikian sekalipun kabar duka datang, kita akan tetap merdeka di dalam melewati kedukaan.
Bersedih dan berduka hak fitrah kita sebagai manusia, tetapi emosionalitas itu tidak menjadi penjara kehidupan.

Tak usah takut jika harus sedih dan berduka. Biarkan yang berduka berduka. Biarkan yang bersedih bersedih. Karena di setiap keadaan diciptakan fasenya.
Ada fase baru yang dilewatkan, ada fase baru yang siap dimasuki. Maka lalui fasenya dengan sadar tanpa kehilangan hakikat kemerdekaan diri. Merdekakan psikologis kita agar di tengah duka, kita tetap merdeka. Selamat HUT RI ke 76.

*Penulis merupakan Pemerhati Sosial Politik Banua



Komentar
Banner
Banner