bakabar.com, JAKARTA - Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (Core) Indonesia Mohammad Faisal menjelaskan, antara defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dengan pemulihan ekonomi tidak bisa disimplifikasi begitu saja.
Ada banyak faktor yang harus diperhatikan terkait penerimaan negara yang meningkat. Salah satunya, apakah penerimaan tersebut berdampak positif terhadap pemulihan ekonomi secara keseluruhan.
"Kalau dari sisi penerimaan pulih memang kemungkinan besar disebabkan oleh pemulihan ekonomi, jadi penerimaan meningkat," kata Faisal kepada bakabar.com, Kamis (13/7).
Sejauh ini, defisit APBN 2022 tercatat sebesar 2,35 persen. Angka itu, bagi Faisal, bisa dianggap sebagai bukti pemulihan ekonomi Indonesia. Secara sederhana, jika mengacu pada UU Nomor 2 Tahun 2020, disebutkan batas defisit anggaran yang ditoleris, harus di bawah 3 persen.
Baca Juga: Defisit APBN 2022, Menkeu: Capai 2,35 Persen, Bukti Pemulihan Ekonomi
Oleh karena itu, Faisal menilai, defisit APBN yang tak melampaui maksimal 3 persen, perlu ditelaah lebih jauh. Salah satu penyebabnya adalah naiknya harga komoditas pangan pasca pandemi COVID-19.
"Dalam kasus Indonesia sekarang, terutama setelah pandemi ini justru penerimaannya meningkat karena faktor eksternal dimana harga komoditasnya yang naik. Itu terjadi di 2022," ujarnya.
Berbanding terbalik dengan tahun sekarang, tutur faisal, harga komoditas pangan justru cenderung mengalami penurunan lantaran adanya perlambatan ekonomi global. Akibatnya, harga komoditas pangan kini tak semahal saat pasca pandemi berlangsung.
Menurut Faisal, penurunan harga komoditas pangan turut berdampak terhadap penerimaan pendapatan negara. Sejalan dengan hal itu, pemerintah kemudian menerapkan kebijakan penghematan anggaran.
Baca Juga: APBN 2022, Menkeu: Bekerja Luar Biasa Jaga Perekonomian dari Pandemi
"Jadi penerimaan justru sekarang relatif berkurang, tapi tetap relatif mencapai defisit sebagaimana di prediksikan 2,35 karena belanjanya juga ditekan. Karena ada penghematan dari sisi belanja," jelasnya.
Hal itu, ungkap Faisal, menjadi konklusi bahwa di tengah defisit anggaran sebesar 2,35 persen, pemerintah masih mampu untuk meningkatkan penerimaan pendapatan diiringi dengan penghematan. Dengan demikian, pertumbuhan masih terjadi.
Sebelumnya, Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani mengungkapkan, defisit APBN 2022 tercatat sebesar 2,35 persen menjadi bukti kuatnya pemulihan ekonomi Indonesia. Sebab, UU Nomor 2 Tahun 2020 menetapkan batas defisit APBN perlu di bawah 3 persen per tahun 2023.
Sementara itu, pendapatan negara pada 2022 tercatat positif di angka Rp2.635,8 triliun. Nilai tersebut terdiri dari penerimaan perpajakan sebesar Rp2.034,5 triliun, Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) Rp595,6 triliun, dan hibah Rp5,7 triliun. Realisasi itu menunjukkan perekonomian Indonesia mengalami pemulihan yang sangat kuat.