bakabar.com, JAKARTA - Calon Presiden nomor urut 2, Prabowo Subianto dalam dialog bersama kadin mengungkapkan butuh orang yang berani untuk mengerek belanja negara hingga 30 persen. Demi menjadikan Indonesia sebagai negara Industri.
Direktur Eksekutif CORE Indonesia, Mohammad Faisal merespons target ambisius Prabowo bukan perihal tentang keberanian. Tapi perlu kalkulasi yang benar.
"Jadi ini bukan masalah berani atau tidak berani. Ini bukan masalah keberanian. Ini kalkulasi yang harus benar," katanya kepada bakabar.com, dikutip Kamis (18/1).
Baca Juga: Indonesia Terancam Pengangguran Setara Penduduk Jakarta
Faisal menyampaikan peningkatan belanja negara sebesar itu akan menjadi lonjakan yang cukup besar dan belum pernah terjadi sebelumnya. Merujuk pada realisasi PDB pada tahun 2023, belanja negara mencapai Rp3.120 triliun, atau 15 persen.
Sedangkan untuk mencapai 30 persen dari PDB berarti pemerintah perlu meningkatkan dua kali lipat, mencapai sekitar Rp6.340 triliun.
Itu artinya, untuk mencapai hal itu pemerintah juga perlu menggenjot penerimaan hingga dua kali lipat. Hal itu perlu dilakukan agar semakin tidak melebarkan defisit keuangan negara.
Baca Juga: Genjot Wisata Belanja, Indonesia Perlu Belajar ke Thailand-Singapura
Sementara sekarang, kata dia, defisit harus ditekan tidak lebih dari 3 persen. Karena melihat utang yang sudah tembus hingga 18 ribu triliun pada saat sekarang.
"Nah kalau penerimaan itu tidak bisa dua kali lipat berarti kan konsekuensinya defisit melebar," ungkap dia.
Faisal khawatir, jika belanja negara mau didorong sampai 30 persen daripada PDB. Beban utang bakal semakin membengkak.
Hal itu menurutnya bakal mempengaruhi perekonomian Indonesia secara keseluruhan. Khususnya terhadap iklim investasi.
"Bakal mempengaruhi iklim investasi, terhadap perekonomian secara keseluruhan karena mendorong penerimaannya dengan waktu instan," jelas dia.
Baca Juga: Lesunya Buka Mal Tahun Ini, Apa Penyebabnya?
Karena itu menurut Faisal perlu strategi luar biasa. Kalau tidak, target ambisius Prabowo bakal menjadi bumerang untuk Indonesia sendiri.
Apalagi kata dia, jika hal itu ingin dilakukan dalam jangka waktu yang singkat, yakni satu periode atau lima tahun.
"Dengan paradigma seperti ini justru malah bersiko beban fiskal itu sangat besar. Perlu strategi yang luar biasa kalau tidak hati hati justru malah bisa backfire," tandas dia.