Tak Berkategori

Buntut Panjang Soal Banjir di HST, Warga Desak Polisi Usut Tuntas Ilegal Logging

apahabar.com, BARABAI – Masyarakat adat di Kecamatan Hantakan mempertanyakan komitmen pemerintah dan penegak hukum dalam menjaga…

Featured-Image
Kapolres AKBP Danang Widaryanto berdialog dengan tokoh maayarakat Hantakan, Sumiati (kanan Kapolres) dan Ketua DPC Peradi, Syahruzzaman usai rapat di DPRD HST, Senin (22/3)./Foto: apahabar.com/Lazuardi.

bakabar.com, BARABAI – Masyarakat adat di Kecamatan Hantakan mempertanyakan komitmen pemerintah dan penegak hukum dalam menjaga kelestarian hutan Meratus di Hulu Sungai Tengah (HST). Terutama mengenai pembalakan liar atau ilegal logging yang sudah terjadi bertahun-tahun di Kecamatan Hantakan.

Mencuatnya permasalahan ini setelah terjadi musibah banjir bandang Rabu malam 13 Januari 2021. Dampaknya dinilai luar biasa hingga disebut sebagai banjir terparah sepanjang sejarah HST.

Bencana alam tersebut dinilai bukan hanya karena tingginya curah hujan. Tetapi juga dampak dari pembukaan lahan yang diduga dilakukan secara besar-besaran di wilayah Hantakan.

Hal itu diperkuat dari citra satelit milik Dinas Lingkungan Hidup dan Pehubungan (DLHP) HST. Ada penurunan tutupan lahan sebanyak 23 persen selama 3 tahun terakhir.

Pada 2018, tutupan lahan masih di angka 61 persen. Pada 2020, tutupan lahan di HST hanya tersisa 38 persen saja.

Bukaan lahan itu diduga akibat penebangan pohon secara liar atau ilegal logging di wilayah Meratus.

Tidak lama pascabanjir, Wakil Bupati HST Periode 2016-2021, Berry Nahdian Forqan melakukan penjajakan ke Meratus.

Eks Direktur Walhi Nasional ini menemukan setumpuk kayu di Desa Papagaran, 31 Januari 2021. Diduga hasil dari penebangan liar.

img

Petugas dari Kehutanan memotong temuan kayu di hutan Papagaran. Foto-istimewa.

Sehari setelah itu, Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) Hulu Sungai bersama Sat Reskrim Polres HST berhasil mengungkap satu bukti adanya illegal logging di desa itu. Ada 96 potong kayu diduga jenis Meranti berukuran 10 x 20 dengan panjang 4 meter.

Bukti-bukti itu lantas dimusnahkan dengan cara dipotong-potong menjadi beberapa bagian. Tanpa ada penetapan pelaku maupun tersangka atas temuan itu.

Lama tak mencuat alias tak jelas tindakan dari pihak berwenang, kasus ilegal logging ini pun dibawa masyarakat ke ruang DPRD HST, Senin (22/3).

Perwakilan masyarakat adat Hantakan didamping Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi) DPC Martapura-Banjarbaru dan Banua Anam membawa hasil investigasi ilegal logging.

Tokoh masyarakat di Hantakan, Sumiati menyebutkan ilegal logging terjadi di kawasan hutan lindung (secara hukum negara) atau hutan keramat (secara hukum adat) bertahun-tahun lamanya. Hutan yang dimaksud ada di Mangkiling Desa Datar Ajab dan Papagaran Desa Patikalain Kecamatan Hantakan.

Sumiati yang selama ini dikenal sebagai tokoh yang kekeh mempertahankan Meratus dari eksploitasi bercerita di hadapan anggota DPRD dan Kapolres HST serta Dandim 1002 Barabai. Dia mengisahkan perjuangan masyarakat mengusir dua perusahaan yang akan mengekploitasi hutan di Meratus itu di tahun 80-an.

“Masyarakat adat berjuang keras menolak hutan adat atau hutan lindung dieksploitasi,” tegas Sumiati saat dialog dan dengar pendapat di ruang Paripurna DPRD HST.

img

Warga Desa Alat Seberang Kecamatan Hantakan yang rumahnya hilang pascadisapu banjir bandang mendirikan tenda darurat. Foto-istimewa.

Gayung bersambut, Kepala Adat se-Kecamatan Hantakan, Abdul Hadi secara tegas meminta agar masyarakat adat didukung penegak hukum dalam memberantas ilegal logging di Meratus.

“Sekuat apapun kami menjaga hutan, jika tak didukung aparat penegak hukum dan pemerintah pemegang kekuasaan, sama saja kami tidak bisa apa-apa,” kata Hadi.

Namun Hadi menyanyangkan, justru orang yang terlibat dalam pembalakan liar itu cukongnya oknum aparat.

“Saya berani bicara seperti ini karena fakta. Jika aparat tidak membantu kami menjaga dan mempertahankan hutan, bencana banjir bisa terus terjadi,” tegas Hadi.

Upaya masyarakat menjaga Meratus ini tentu mendapat dukungan dari Walhi Kalsel.

Direktur Walhi Kalsel, Kiswori Dwi Cahyono meminta penegak hukum, TNI-Polri atau yang berwenang agar menindak oknum aparat itu.

“Jika yang diberi wewenang tak mampu menegakkan hukum, serahkan saja pelakunya ke hukum adat,” tegas Kisworo.

Menanggapi tuntuan masyarakat tadi, Kapolres HST, AKBP Danang Widaryanto mengatakan akan menelusuri kebenarannya.

“Kalau memang ada yang terlibat, tadi dikatakan aparat, cuma belum mengarah ke mana. Nanti kita telusuri lagi,” kata Danang.

Jika memang ada bukti, lanjut Danang, maka Polisi akan melanjutkan mekanisme selanjutnya.

“Kita mengusut berdasarkan bukti-bukti. Kita pelajari dulu. Baru lanjut ke tahap berikutnya sesuai dengan syarat-syaratnya,” terang Danang.

Dalam laporan Peradi, pembalakan hutan besar-besaran bukan oleh masyarakat adat. Tetapi ada cukong yang begitu masif sehingga ikut menyumbang dampak bencana banjir.

“Kalau cuman pembukaan hutan secara adat tidak terlalu besar efeknya. Tapi karena pembukaan lahannya (dari cukong-red) memang luar biasa dan dapat kami buktikan sendiri,” kata Ketua DPC Peradi, Syahruzzaman.

Mengenai penindakan, diterangkan Syahruzzaman, harus disinkronkan antar hukum positif (negara) dengan hukum adat. Hanya saja harus mengedapankan hukum adat.

Untuk menyinkronkan hukum positif dan hukum adat tadi, Peradi juga meminta pemerintah membuat peraturan daerah (Perda). Tujuannya agar tidak berbenturan dengan hukum positif.

Terkait apa yang diungkapkan Kapolres HST saat dialog, Peradi setuju jika hak-hak adat harus dikedepankan.

“Setelah hak adat dikedepankan, baru hukum positif ditegakkan. Yang saya tekankan apabila ada pembalakan liar di luar hukum adat, itulah yang ditindak,” terang Syahruzzaman.

Di akhir dialog dengan pemangku kepentingan mengenai penegakkan hukum pembalakan liar ini, Peradi kecewa dengan hasilnya. Sebab tidak ada notulen maupun kesimpulan atas hasil dialog.

“Ketua pimpinan sidang hari ini seenak udelnya aja main potong main selesai. Memang mereka punya Tantib, tapi tolong hargai kami dan masyarakat yang datang. Ini gak selesai,” tegas Syahruzzaman.

Dia berharap hal itu menjadi pembelajaran. Pemerintah HST maupun pihak yang berkaitan harus serius menanggapi permasalahan ilegal logging dan hukum adat.

“Harus serius, jangan jadi guyonan, tidak ada jadwal dan notulen. Kami mengikuti rapat penting tidak seperti ini,” tutup Syahruzzaman.

Perlu diketaui, dalam rapat dialog dan koordinasi itu, unsur pimpinan DPRD HST tidak hadir. Kursi pimpinan rapat pun diisi oleh anggota Komisi DPRD, Taufiqurrahman.

Dalam rapat itu juga hadir Pj Sekda HST, Faried Fakhmansyah serta para kepala SKPD di lingkup Pemkab HST.



Komentar
Banner
Banner