bakabar.com, BANJARBARU - Dengan keyakinan bulat, Aliansi Meratus kembali menegaskan penolakan pembuatan Taman Nasional Meratus.
Ketegasan diutarakan dalam pertemuan dengan Dinas Kehutanan Kalimantan Selatan bersama Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) dan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Kalsel yang tergabung dalam Aliansi Meratus, Kamis (28/8).
Sebelumnya Kepala Dinas Kehutanan Kalsel, Fathimatuzzahra, menuturkan peningkatan status kawasan hutan lindung menjadi taman nasional sudah diusulkan kepada Kementerian Kehutanan sejak Oktober 2024 lalu.
"Selanjutnya Kementerian Kehutanan akan membentuk tim terpadu yang melakukan tahapan teknis. BRIN, ULM dan dan Kementerian Kehutanan akan berada dalam tim teknis ini," jelas Fatimatuzzahra.
Lantas Fatimatuzzahra juga mengingatkan kembali ajakan Gubernur Kalsel, terkait perwakilan Aliansi Meratus yang akan beraudiensi dengan Kementerian Kehutanan.
Namun ajakan tersebut tidak bersambut, sebab Aliansi Meratus memandang usulan taman nasional adalah kewenangan Pemprov Kalsel.
"Artinya Pemprov Kalsel harus mencabut usulan taman nasional dengan dasar penolakan dari masyarakat adat Dayak Meratus," tegas Rubi, Ketua Pengurus Wilayah AMAN Kalsel.
"Kami kembali menegaskan penolakan taman nasional, karena bertentangan dengan nilai-nilai dalam ritus masyarakat adat, kearifan dan pengetahuan lokal di Pegunungan Meratus," tambahnya.
Dijelaskan bahwa Pegunungan Meratus sudah dihuni oleh Dayak Besar atau Dayak Bukit selama bertahun-tahun. Setidaknya 20 ribu jiwa lebih mengelola hak ulayat di pegunungan ini berdasarkan kearifan lokal masyarakat.
"Selain menjadi sumber penghidupan untuk masyarakat adat Dayak Meratus, hutan juga menjadi faktor utama dalam pelaksanaan ritual kepercayaan. Menjaga hutan adalah bentuk penghormatan terhadap leluhur," papar Rubi.
Di sisi lain, masyarakat adat telah turun-temurun menerapkan konsep tata kelola lahan gilir balik melalui katuan, jurungan, mayunan dan istilah lain yang dipraktikkan dalam mengelola hutan.
Pun masyarakat adat sudah melakukan metode pemulihan alami melalui penanaman tanaman keras untuk memulihkan hutan dan mendukung kehidupan.
"Kearifan tradisi itu harus dihargai oleh negara. Pun negara pasti akan dihargai dengan model konservasi asli tanah moyang, bahkan di dunia Internasional," tuntas Rubi.
Sementara Direktur Eksekutif Walhi Kalsel, Raden Rafiq, menambahkan Aliansi Meratus hadir bukan untuk bernegosiasi, tetapi menyampaikan tata kelola dan tata ruang oleh masyarakat hukum adat Dayak Meratus.
“Kebijakan top down yang dilakukan pemerintah sangat bertentangan dengan kearifan lokal masyarakat adat. Sesuai ritus masyarakat hukum adat, proses ritual dan kelola hutan tidak bisa dibatasi dengan administrasi maupun zonasi seperti konsep taman nasional," bebernya.
Adapun Kepala Adat Dayak Halong, Gupen, juga menegaskan kehidupan masyarakat adat Pegunungan Meratus telah menyatu dengan alam. Bahkan hutan yang menempa hidup mereka sehingga beradat dan berbudaya.
“Penetapan taman nasional di Meratus hanya akan menjadi tantangan baru untuk kehidupan masyarakat adat Dayak Meratus. Juga akan membatasi aktivitas kami dengan segala macam aturan," tutupnya.