bakabar.com, BANJARMASIN – Munculnya Permenaker Nomor 2 Tahun 2022 soal aturan main pencairan Jaminan Hari Tua (JHT) di usia 56 tahun menambah rentetan rapor hitam pemerintah.
Kaum buruh merasa bertubi-tubi disuguhi regulasi kontroversi. Dalam dua tahun terakhir, Aliansi Pekerja Buruh Banua (PBB) mencatat ada 10 kebijakan baru pemerintah yang dirasa merugikan kalangan pekerja.
17 Maret 2020, Menteri Tenaga Kerja Ida Fauziyah menerbitkan Surat Edaran (SE) bernomor M/3/HK.04/III/2020 tentang Pelindungan Pekerja/Buruh dan Kelangsungan Usaha Dalam Rangka Pencegahan dan Penanggulangan Covid-19.
SE yang ditandatangani tanggal 17 Maret 2020 ini ditujukan kepada para gubernur di seluruh Indonesia.
Salah satu isinya menyebut perusahaan boleh melakukan perubahan besaran dan cara pembayaran upah pekerja sesuai dengan kesepakatan antara kedua pihak.
Hal tersebut berlaku bagi perusahaan yang melakukan pembatasan kegiatan usaha akibat kebijakan pemerintah daerah masing-masing guna pencegahan dan penanggulangan Covid-19, sehingga menyebabkan sebagian atau seluruh buruhnya tidak masuk kerja.
"Kami menilai kebijakan tersebut membuka peluang pemotongan upah buruh tanpa batas waktu dan besaran potongan yang jelas. Pemerintah tidak memberi kriteria yang jelas dan ketat dalam kebijakan tersebut," kata Biro Hukum Konferensi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI) Kalsel, Sumarlan, Rabu (23/2).
Kebijakan kontroversial lain adalah SE Menaker Nomor M/6/HI.00.01/V/2020 tentang pembayaran Tunjangan Hari Raya (THR) di masa pandemi Covid-19.
Buruh Banua menilai pemerintah sempat melepas tanggung jawab perusahaan untuk membayar THR. Sebab, SE itu tak memberi batasan yang jelas bagi perusahaan untuk menunda pembayaran THR kepada pekerja.
"Pemerintah memberi celah perusahaan untuk menghindari pembayaran THR lewat Permenaker 6/2016 karena tidak menjabarkan tolak ukur dampak pandemi terhadap ketidakmampuan keuangan perusahaan," papar Sumarlan.
Lalu, lahirnya UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Sebelum disahkan pada 5 Oktober 2020, rancangan Omnibus Law memang penuh kontroversi.
Kala itu, gelombang penolakan terus mengalir deras. Buruh juga menilai proses penyusunan UU tersebut cacat prosedur, tak terbuka, dan banyak mendaur ulang pasal inkonstitusional.
Kemudian, terbitnya Perpres Nomor 64 Tahun 2020 tentang perubahan atas kedua atas Perpres Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan.
"Buruh atau rakyat dalam situasi sulit akubat pandemi, pemerintah malah menaikan iuran BPJS Kesehatan melalui Perpres," ujar Sumarlan.
Selanjutnya, Permenaker Nomor 2 Tahun 2021 tentang pelaksanaan pengupahan pada industri padat karya tertentu dalam masa pandemi Covid-19.
"Kami nilai pemerintah telah melegalkan pemotongan upah buruh hingga Desember 2021," bebernya.
2 Februari 2021, pemerintah menerbitkan PP tentang Penggunaan Tenaga Kerja Asing. PP Nomor 34 Tahun 2021 itu dinilai membuat tenaga asing di Indonesia akan meningkat seiring dibukanya keran investasi asing dalam UU Cipta Kerja.
Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2021 tentang Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT), Alih Daya, Waktu Kerja dan Istirahat dan PHK.
PP tersebut dinilai tidak memberi batas bagi buruh yang berstatus kontrak menambah jam lembur dan mekanisme PHK.
Selain itu, ada lagi PP Nomor 36 Tahun 2021 tentang Pengupahan. Aturan tersebut dinilai akan melanggengkan upah murah dan penghasilan yang tidak layak bagi buruh.
Terus ada PP Nomor 37 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Program Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP).
"PP tersebut kami nilai melepas tanggung jawab perusahaan atas kompensasi PHK melalui skema JKP," tuturnya.
Dan terakhir, Permenaker Nomor 2 Tahun 2022. Aturan tentang Tata Cara Pembayaran Manfaat JHT tersebut ditolak.
Rabu (23/2), ratusan buruh menggelar unjuk rasa di kantor DPRD Kalsel. Isinya yang paling disorot adalah soal pencairan JHT di usia 56 tahun.
Rencananya, aturan tersebut efektif berlaku mulai 4 Mei mendatang.
Presiden Joko Widodo sempat meminta Permenaker tersebut direvisi agar JHT dapat diambil pekerja dengan mudah ketika mereka mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK).
Sumarlan meminta agar pihaknya turut dilibatkan.
"Sebelum dilakukan perubahan terhadap Permenaker itu, draft-nya kasihkan dulu ke kami," ujarnya.
Selain itu, puluhan ribu buruh di Kalsel juga sudah ancang-ancang membuat surat pernyataan untuk keluar dari program BPJS Ketenagakerjaan.
Bila Permenaker 2/2022 tak kunjung dicabut sebelum 4 Mei, para buruh memastikan keluar dari BPJS Ketenagakerjaan.
"Tanpa ada lagi aksi, kita langsung keluar dari BPJS Ketenagakerjaan," pungkasnya.