kerusakan lingkungan

Ancaman Nyata, Sagea Tercemar Aktivitas Tambang Nikel dan Karst

Sejak pertengahan Januari 2010, kawasan Sagea di Halmahera Tengah, Maluku Utara, mulai diincar oleh sejumlah perusahaan tambang.

Featured-Image
Tangkapan layar - Diskus Membongkar Jejak Kejahatan Lima Tahun PT IWIP di Halmahera. Foto: Jekson Simanjuntak

bakabar.com, JAKARTA - Sejak pertengahan Januari 2010, kawasan Sagea di Halmahera Tengah, Maluku Utara, mulai diincar oleh sejumlah perusahaan tambang.

Diketahui beberapa perusahaan tambang nikel, seperti PT First Pasific Mining (FPM) dan PT Zhong Hai Rare Metal Mining Indonesia, telah mengantongi izin dari bupati Halmahera Tengah. Izin PT FPM diketahui hingga 2014 dan Zhong Hai hingga 2030.

Tak hanya tambang nikel yang mengintai Sagea, kawasan karst juga berdampak. Pada tahun 2019, ada rencana eksplorasi PT Gamping Indonesia, yang tergiur membongkar cadangan karst di Sagea. Rencana itu akhirnya ditolak oleh warga.

Kepala Divisi Advokasi dan Hukum Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) Muh Jamil mengungkapkan, wilayah Sagea juga diincar sebagai wilayah penunjang kawasan industri.

Baca Juga: Lima Tahun PT IWIP di Halmahera, Kerusakan Lingkungan Kian Parah

Dalam dokumen perencanaan kementerian ATR/BPN terkait RDTR Kawasan Industri Teluk Weda, papar Jamil, akan dijadikan wilayah pemukiman dan pertanian. Rencananya di kawasan tersebut akan dibangun rumah susun untuk tempat tinggal para pekerja PT IWIP.

"Warga Sagea yang bertetangga dengan IWIP dan sehari-hari menyaksikan sendiri kerusakan di wilayah sekitar IWIP, tak ingin kerusakan serupa terjadi di kampung halaman mereka," kata Jamil dalam diskusi Gencar Transisi Mineral Lewat Nikel Kotor pada Rabu (30/8).

Warga, terang Jamil, tak ingin keindahan dan potensi wisata yang ada di kampung Sagea dirusak dengan kehadiran tambang. Selama ini kegiatan berkebun pala, cengkeh, kelapa yang telah menyejahterakan mereka.

Warga juga memanfaatkan potensi wisata Gua Bokimoruru dan Sungai Sagea yang pendapatan retribusi masuk gua saja mencapai ratusan juta rupiah.

Baca Juga: Melihat Potret Sungai Martapura dalam Kacamata Modern

“Kerusakan lingkungan, akibat aktivitas tambang dan pembabatan hutan, meluas puluhan kilo meter, hingga kampung Sagea, yang jaraknya dari operasi IWIP sekitar 10 km,” ungkap Jamil.

Ia menambahkan, "Jelang peringatan 5 tahun Operasi IWIP, pertengahan Agustus lalu, Sungai Sagea menguning dan tercemar karena hulunya telah ditambang oleh PT Weda Bay Nikel yang menyuplai bahan mentah ke smelter-smelter IWIP."

Untuk mengatasi hal itu, pegiat geowisata Deddy Arif menjelaskan pentingnya pembentukan tim investigasi independen yang bergerak secara objektif dan saintis. Tim investigasi tersebut nantinya harus melibatkan seluruh kalangan seperti pegiat lingkungan, warga asli Desa Sagea, pemerintah pusat dan daerah, pemerhati geowisata, serta peneliti dari berbagai lembaga.

Sebab, sejauh ini belum terdapat data terkait kualitas air Sungai Sagea. "Satu keyakinan yang kita gunakan adalah sedimentasi setebal saat ini di Sungai Sagea, tidak akan mungkin hanya gara-gara faktor lain yang berkembang dari dalam," katanya.

Baca Juga: Negara Dirugikan Tambang Ilegal, Senayan: ESDM Harus Bertindak!

Jika melihat dari warna, ketebalan material dalam sedimen, menurut Deddy, bisa dipastikan ada aktivitas penambangan.

“Bahkan, saya agak pesimistis untuk mengembalikan Sungai Sagea seperti kondisi sebelum tercemar, karena sampai saat ini saya belum pernah mendapatkan satu sungai di konsesi tambang yang bisa kembali pulih seperti harapan kita bersama,” tandasnya.

Editor
Komentar
Banner
Banner