Pembunuhan Brigadir J

Ahli Pidana Jelaskan Dalil Hukum, Bharada E Jadi 'Alat' Ferdy Sambo

Ahli hukum pidana Albert Aries menyebut jika Bharada E Hanya Sebagai Alat dari atasannya yakni Ferdy Sambo.

Featured-Image
Ahli hukum pidana, Albert Aries di PN Jaksel, Rabu (28/12). (Foto: apahabar.com/Leni)

bakabar.com, JAKARTA - Ahli hukum pidana Albert Aries menyebut jika Bharada E Hanya Sebagai Alat dari atasannya yakni Ferdy Sambo.

Keterangan itu diungkapnya saat hadir sebagai saksi meringankan oleh kubu Eliezer di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Rabu (28/12).

"Bahwa orang yang disuruh dilakukan tidak memiliki kehendak untuk melakukan kesalahan," kata Albert di ruang sidang utama.

Baca Juga: Begini Alasan Ferdy Sambo Tak Berencana Bunuh Brigadir J

Awalnya, tim penasehat hukum Elizer melayangkan pertanyaan terkait kedudukan bawahan yang diperintah atasan untuk melawan hukum.

Kemudian, Saksi menjelaskan bahwa hukum pidana di Indonesia memisahkan tindak pidana dan juga pertanggungjawaban pidana sebagai konsekuensi dianutnya paham dualistis.

Dirinya menyinggung soal keadaan terpaksa bagi seorang yang menerima perintah. Hal itu bermula ketika persidangan membahas soal Pasal 51 KUHP.

Baca Juga: Saksi Meringankan Ferdy Sambo: Motif Kejahatan Bisa Tentukan Beratnya Hukuman

Pasal 51 KUHP berbunyi:

(1) Barang siapa melakukan perbuatan untuk melaksanakan perintah jabatan yang diberikan oleh penguasa yang berwenang, tidak dipidana.

(2) Perintah jabatan tanpa wewenang, tidak menyebabkan hapusnya pidana, kecuali jika yang diperintah, dengan itikad baik mengira bahwa perintah diberikan dengan wewenang dan pelaksanaannya termasuk dalam lingkungan pekerjaannya.

"Jika yang ditanyakan penasihat hukum Pasal 51 ayat 1 maka redaksionalnya adalah tidak dipidana orang yang melakukan perbuatan suatu tindak pidana karena adanya perintah jabatan atau ambtelijk bevel yang diberikan oleh penguasa yang berwenang," paparnya.

Baca Juga: Ahli Sebut Kuat Bohong Tak Lihat Ferdy Sambo Tembak Brigadir J

Albert menambahkan, bahwa ketika seseorang menerima perintah jabatan dari penguasa atau pejabat yang berwenang, maka dia dalam keadaan terpaksa. Karena penerima perintah itu menghadapi dua konflik yang saling berisiko.

"Karena dia menghadapi konflik, di satu sisi dia tidak boleh melakukan suatu tindak pidana dan kemungkinan kalau dia melakukan tindak pidana, dapat dipidana," pungkasnya.

Editor


Komentar
Banner
Banner