bakabar.com, JAKARTA - Kaukus Indonesia untuk Kebebasan Akademik (KIKA) mencatat 43 pelanggaran kebebasan akademik sepanjang 2022. Termasuk, berbagai upaya negara dengan tetap melanggengkan berbagai produk Undang-Undang “karet”.
Situasi kebebasan akademik di Indonesia pada tahun 2022 dan proyeksi untuk perlindungan dan penghormatan kebebasan akademik di tahun 2023 telah dilakukan oleh KIKA dalam pertemuan tahunan di kampung Limasan Tonjong, Kabupaten Bogor, 9-10 Februari 2023.
Setidaknya, ada beberapa temuan model tren pelanggaran kebebasan akademik yang dipotret KIKA pada tahun ini. Pada pidato pengantarnya, Dewan Pengarah KIKA, Dr.Riwanto Tirtosudharmo mengingatkan bahwa insan akademik merupakan mereka yang memiliki concern terhadap kebebasan akademik.
Baca Juga: Susun Draf Naskah Akademik Dua Raperda, Dewan Banjarbaru Gandeng LPPM ULM
"Tidak harus dari perguruan tinggi, namun bisa juga berasal dari Lembaga penelitian maupun organisasi lainnya yang menjalankan keilmuannya dan mempertahankan pikiran kritisnya," ujarnya dalam siaran pers, Jumat (10/2).
KIKA melihat selama ini yang menjadi persoalan pelanggaran kebebasan akademik mulai dari faktor pembayaran UKT dan angka pengangguran yang sangat tinggi.
Hal tersebut berkaitan juga dengan komersialisasi pendidikan dan pola industrialisasi perguruan tinggi, dampak liberalisasi pendidikan menciptakan perguruan tinggi mengalami penundukan pada kuasa politik dan pasar.
Sepanjang 2022, KIKA mendampingi berbagai kasus pelanggaran kebebasan akademik. Ada 43 kasus yang didampingi oleh KIKA. Angka itu cenderung naik dari tahun sebelumnya yang berjumlah 29 kasus.
Berdasar kasus tersebut, dosen, mahasiswa, kelompok masyarakat sipil menjadi korban pelanggaran kebebasan akademik.
Baca Juga: Politeknik Batulicin Gelar Yudisium Kedua Tahun Akademik 2020-2021
KIKA mencatat ada 11 model pelanggaran kebebasan akademik, adapun tekanan dan ancaman tersebut ditandai dengan: (1). Serangan digital bagi akademisi yang melakukan kritik akademik;
(2). Tekanan dan terror terhadap aksi mahasiswa; (3). Kesaksian ahli dosen dipidana; (4). Dugaan korupsi di perguruan tinggi yang menjadi ancaman; (5). Protes isu UKT dan ancaman bagi mahasiswa (aksi diam di Unhas, #UniversitasGagalMerakyat di UGM, trending twitter terkait UKT di UNY);
(6). Praktik transaksi gelap dan jual beli pengaruh dalam penulisan jurnal internasional scopus untuk isu jurnal;
(7). Legitimasi kebenaran pemerintah dan penundukan ilmu, salah satunya menyerang peneliti asing (kasus KLHK);
(8). Upaya penundukan akademisi untuk melegitimasi berbagai proyek strategis nasional dan konflik agararia ((PSN di Wadas, Kinipan, dan Pakel); (9). Peleburan lembaga Riset di BRIN;
(10). Situasi kampus yang feodal dan kegagalan membentuk serikat dosen; (11). Tidak terselesainya pelanggaran kekerasan seksual di perguruan tinggi.
Teror ke akademisi dan masyarakat sipil terus menerus terjadi tanpa ada upaya maju perlindungannya di level negara maupun institusi perguruan tinggi.
Hal demikian meningkat dalam setahun terakhir. Menurutnya, apa yang terjadi kasus-kasus kebebasan akademik sepanjang tahun 2022 sebenarnya hanya mengulang peristiwa-peristiwa serangan yang terus menerus terjadi sejak 2015.
Baca Juga: Di hadapan Civitas Akademika Uniska, Guru Zuhdi: Gunakan Bahasa Cinta
Maka dari itu, KIKA kembali mengingatkan Prinsip Surabaya untuk Kebebasan Akademik, khususnya prinsip 2, 3, dan, 4 terkait kebebasan penuh mengembangkan tri dharma perguruan tinggi dengan kaidah keilmuan.
Mendiskusikan mata kuliah dan pertimbangkan kompetensi keilmuan dan penghormatan terhadap nilai-nilai kemanusiaan, dan larangan terhadap pendisiplinan bagi insan akademisi yang berintegritas.
"Outlook kebebasan akademik pada tahun 2023, semakin menguatnya otoritas kampus yang berkelindan dengan kepentingan oligarki akan memperberat agenda perlindungan dan pemajuan kebebasan akademik."
Termasuk, berbagai upaya neo-fasis negara dengan tetap melanggengkan berbagai produk Undang-Undang “karet”, seperti UU ITE, Perppu Cipta Kerja, UU Nomor 2 Tahun 2022 tentang KUHP, Perubahan UU Pembentukan Peraturan Perundang-undangan termasuk dengan menggunakan kekuasannya untuk menundukkan sains, dan menjadikan suara insan akademik kian tak bermakna.
"Seharusnya, ruang demokrasi masyarakat sipil dan kebebasan akademik semakin melembaga, dengan mengutamakan kepada otonomi perguruan tinggi, termasuk melindungi segenap insan akademik dari upaya represi, pendisiplinan, dan pembatasan," jelasnya.