bakabar.com, JAKARTA -Penerbitan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (PERPPU) No. 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja yang disampaikan dalam keterangan pers pada Jumat (30/12) di Kantor Presiden hingga saat ini masih belum dapat diakses oleh publik.
Terbitnya PERPPU terkesan sumir, lantaran tidak dilatarbelakangi keadaan genting yang memaksa dalam menjalankan kehidupan bernegara.
Lembaga Bantuan Hukum Jakarta, melalui Citra Referendum menjelaskan bahwa tindakan pemerintah adalah bentuk dari pengkhianatan terhadap putusan MK.
"Ini bentuk pengkhianatan terhadap Putusan MK No. 91/PUU-XVIII/2020 yang menyatakan bahwa pembentukan UU Cipta Kerja inkonstitusional," pungkasnya.
Baca Juga: YLBHI: Perppu UU Cipta Kerja Gejala Otoritarianisme Era Jokowi
Bau anyir pengesahan PERPPU UU Cipta Kerja ini juga punya empat kejanggalan menurut LBH Jakarta.
Pertama, penerbitan PERPPU Cipta Kerja diterbitkan tidak dalam kegentingan yang memaksa.
Bagir Manan, Mantan Mahkamah Agung itu memberikan kriteria bahwa unsur “kegentingan yang memaksa” sebagaimana dimaksud Pasal 22 UUD NRI 1945 harus menunjukkan dua ciri umum, yaitu ada krisis dan kemendesakan.
Suatu keadaan krisis yang dimaksud adalah apabila terdapat suatu gangguan yang menimbulkan kegentingan dan bersifat mendadak kemendesakan.
Baca Juga: Komisi VII DPR Minta RUU EBT Segera Dibahas untuk Dijadikan Undang-undang
Kemendesakan juga berarti apabila berbagai keadaan yang tidak diperhitungkan sebelumnya dan menuntut suatu tindakan atau pengaturan segera tanpa menunggu permusyawaratan terlebih dahulu.
Kedua, menurut LBH Jakarta sebagai perwakilan konstituen DPR harus mendengar dan bersikap memihak terhadap rakyat. Namun, dalam terbitan PERPPU, DPR dinilai tidak bereaksi dan memihak pada rakyat.
"DPR harus betul-betul mendengar dan mempertimbangkan suara masyarakat atas terbitnya PERPPU a quo sebagai pemegang mandat para konstituen," terang Citra.
"DPR juga harus mengambil kesepakatan untuk tidak menyetujui PERPPU a quo sebagai bentuk perimbangan kekuasaan dan koreksi secara politis demi mencegah keberlanjutan tindakan inkonstitusional yakni membenarkan penerbitan PERPPU sebagai tindak lanjut Putusan MK 91/PUU-XVIII/2020 dan solusi atas adanya kegentingan yang memaksa yang tidak dapat dijelaskan secara ilmiah," imbuhnya.
Baca Juga: Pengesahan RKUHP Dianggap Terburu-Buru, YLBHI: Prosesnya Ugal-Ugalan!
Terakhir, tidak ada upaya keterbukaan dan pendokumentasian pembentukan peraturan perundang-undangan kepada publik.
"Mahkamah Konstitusi memutuskan UU Cipta Kerja inkonstitusional bersyarat dikarenakan proses pembentukan undang-undang tidak adanya partisipasi publik yang bermakna, dengan adanya PERPPU a quo Presiden bertindak tidak menghiraukan isi putusan MK dan melanjutkan praktik buruk legislasi," jelas Citra pada Sabtu, (31/12).
Untuk itu, LBH Jakarta mendesak agar Presiden RI menarik kembali PERPPU No. 2 Tahun 2022, menuntut DPR RI untuk tidak menyetujui penerbitan PERPPU No. 2 Tahun 2022.
Mereka juga meminta Presiden dan DPR RI untuk menghentikan segala bentuk pembangkangan terhadap Konstitusi juga menghentikan praktik buruk legislasi dan mengembalikan semua proses pembentukan peraturan perundang-undangan sesuai dengan prinsip-prinsip Konstitusi Negara Hukum yang demokratis.