Oleh: Kadarisman
SEPEKAN ini sejagad diramaikan sebuah statement Kepala Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) Prof Yudian Wahyudi. Pangkal sebabnya adalah sebuah tuduhan bahwa agama dikatakan sebagai musuh terbesar pancasila.
Menuduh agama sebagai musuh terbesar pancasila adalah kekeliruan pikir dan pandang. Adalah tidak mungkin Pancasila itu ada tanpa agama. Agama menjadi sumber nilai-nilai yang mengakar di dalam jiwa Pancasila itu sendiri.
Pada sila pertama pancasila telah jelas meletakkan nilai-nilai ketuhanan, nilai agama menjadi landasan tegaknya pancasila. Padahal pada masa rumusan pertama sila pertama itu berbunyi Kebangsaan Indonesia. Tapi kebangsaan yang diikat tanpa nilai-nilai ketuhanan rapuh dalam perumusan. Dia lapuk jauh sebelum diimplementasikan. Terbukti, ketika isi pada sila berganti sebagaimana yang kita kenal dengan Ketuhanan Yang Maha Esa, Pancasila masih tegak dan menjadi pemersatu di tanah air ini hingga sekarang.
Jika kemudian ada tuduhan bahwa agama adalah musuh terbesar pancasila, jelas ini pendapat yang sama sekali tidak mengerti substansi tugasnya sebagai pihak yang diberi wewenang merawat Pancasila.
Alih-alih menjaga ideologi bangsa, ia bermemorfosa sebagai pihak yang merusak keutuhan Pancasila. Lebih jauh lagi, bisa merusak tatanan kehidupan bangsa dan negara.
Bagi bangsa ini, agama adalah detak jantung. Nilai-nilai agamalah yang menyuntikkan semangat kemerdekaan. Sebuah bangsa ini tak ada tanpa agama, dan tanpa agama Pancasila tak akan pernah dilahirkan. Agamalah yang jadi ibu kandung Pancasila. Memusuhi agama itu sudah pasti Pancasila akan menjadi anak durhaka, dan Pancasila bukan anak durhaka.
Frase musuh sebagaimana disebutkan Kepala BPIP adalah gendernah perang, penegasan perlawanan, bermusuhan dan bertentangan berhadap-hadapan. Sekulerisme apapun yang menunggangi pemikirannya tak akan mampu memisahkan nilai Pancasila dengan nilai-nilai Tuhan yang terejawantahkan di dalam agama.
Diksi “musuh terbesar” dalam penegasan Yudian Wahyudi itu jelas menjadikan agama sebagai pihak yang harus dilawan. Entah itu sebuah kealfaan atau kesilauanSekulerismeh jabatan, tapi yang pasti itu menyulitkan tugasnya mengawal semangat ideologi bangsa Indonesia.
Teringat saya firman Tuhan yang mmenyeru: sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu
Setan adalah sifat. Segala sifat buruk dan amoral adalah setan. Sifat tidak toleran, sifat memusuhi, kebencian, fitnah, hoak itu sifat setan yang dimusuhi. Itu sebab dikenal ada setan jin dan setan manusia. Bahwa dua makhkuk berbeda alam itu pun bisa menjadi bagian setan karena sifatnya.
Ada istilah kesetanan. Itu berarti manusia ditimpali sifat yang buruk. Manusia bersifat setan. Tapi Al Quran tak menyebut musuh manusia adalah manusia atau jin, tapi setan. Padahal jelas Al Furqan menyebut ada setan manusia dan setan jin. Ini hebatnya Tuhan, welas asih memilah bahasa untuk menjaga perasaan manusia tak tersinggung, dapat memilah mana manusia dan mana sifat setannya. Jangan jadikan manusia sebagai musuh tapi musuhilah sifat setannya. Agama jangan dijadikan musuh tapi musuhi orang-orang jahat yang bertopengkan agama untuk mengambil manfaat secara jahat dengan nama agama.
Lalu ada pernyataan agama musuh pancasila. Falsafah bangsa yang bernama pancasila di dalamnya kental nilai-nilai agama bagaimana bisa bermusuhan.
Diksi ini selain offset sekaligus tidak mawas diri. Agama adalah nilai yang diempu oleh setiap warga negara. Nilai-nilainya hidup dan mengalir dalam darah, jiwa dan raga yang memperjalankan bangsa ini.
Jika Kepala BPIP adalah orang yang beragama, maka diapun menjadi bagian musuh pancasila. Dia baru akan menjadi teman Pancasila jika tak beragama. Kebayang tidak betapa Kepala BPIP itu mengharakiri diri sendiri. Menjadikan dirinya yang beragama tapi mengaku pahlawan Pancasila, ini sungguh seorang oportunis dan pragmatis sejati.
Namun pun demikian, cara terbaik menepis pernyataan itu adalah dengan tetap menghormati pendapatnya, menempatkannya pada porsi bahasan yang proporsional tanpa kebencian, karena kekhilafan sudah menjadi bagian manusia. Profesor itu kan manusia juga. Itu alasan kenapa dia layak dimaafkan. Dia pun kemudian memberikan klarifikasi.
Memang, harta, tahta dan jabatanlah pangkal keruh dan jernihnya akal dan pikiran. Selama orientasi seseorang lebih kepada untuk mengamankan prefrensi pribadi selama itulah ia gagal pada nilai-nilai yang sejati. Kepala BPIP hanya menjadi korban materialisme semata. Kelak ia akan menyadari sendiri, k
etika label duniawi itu akan lepas di rentang waktu paling lama semasa hidupnya saja. Ketika dia menghadap Tuhannya, di ketika itulah, agama menjadi rumah yang ia rindu dan damai di dalamnya yang tak pernah menjadi musuh siapapun, apalagi pancasila. Jangan jadikan Pancasila sebagai anak durhaka!
Penulis Anggota Korp Alumni Himpunan Mahasiswa Islam (KAHMI) Tabalong
======================================================================
Isi tulisan sepenuhnya tanggung jawab penulis.