Oleh: Asro Kamal Rokan
SALIM SAID menulis tentang Ilham Bintang, 27 tahun lalu. Tulisan di Media Indonesia, Selasa (6 April 1993) itu berjudul: Monumen Ilham Bintang. Tulisan pengamat politik dan perfilman itu, meski sudah cukup lama, namun masih relevan hingga kini, tentang intergritas seorang wartawan.
Masa itu — dan mungkin juga terjadi saat ini — sejumlah penulis skenario dan sutradara film ternama, menjiplak film-film asing dan menyebutnya sebagai karya sendiri. Ilham Bintang, wartawan muda di Haran Angkatan Bersenjata, membongkar praktek busuk ini.
Dengan bukti yang dimilikinya, Ilham membongkar praktek pinjiplakan film Bercanda dalam Duka yang distudrarai Ismail Soebardjo. Dijiplak dari film Mandarin, Homocide Criminal Part II ini, akhirnya Bercanda dalam Duka, gagal meraih Piala Citra pada Festival Fim Indnesia (FFI) 1982.
Integritas Ilham diuji saat menjadi produser film — bisnis dengan kalkulasi untung rugi. Pada 1991 Ilham disodorkan cerita film berjudul Asmara, ditulis dan sutradara Adi Surya Abdi. Ilham setuju. Film dibuat. Namun belakangan diketahui bahwa film tersebut tiruan dari film No Small Affair, yang dibintangi Demi Moore. Informasi itu dia peroleh dari seseorang yang mengirimi pesan lewat starco ( alat komunikasi ekektronik masa itu). Ilham kebetulan sedang di Los Angeles, AS bersama Salim Said, Rosihan Anwar, dan wartawan film Pos Kota Dimas Supriyanto mengantar film produksinya "Bibir Mer" karya sutradara Arifin C Noer, ikut kompetisi di Piala Oscar. Ia pun mencari video film itu di Los Angeles dan berhasil mendapatkannya.
Ilham marah karena merasa dibohongi. Sengketa terjadi. Ilham memilih tidak mengedarkan film jiplakan tersebut, meski dana produksi telah dikeluarkan. Ini tanggung jawab profesionalnya, tidak bersedia memproduksi film jiplakan. Koran-koran ramai memberitakan sengketa ini. Bahkan, sejumlah penulis skenario dan sutradara senior tidak berpihak kepada Ilham.
Dari kasus ini, Ilham berniat mendirikan monumen perlawanan terhadap praktek buruk penjiplakan. Dr Salim Said dalam tulisannya mendukung monumen tersebut, meski pada akhir tulisannya Salim terkesan ragu. “Akan berhasil kah monumen Ilham Bintang ini mengubah watak buruk perfilman kita? Tentu hanya sejarah yang akan menjawab,” tulis Salim Said.
Kliping tulisan Salim Said itu masih tersimpan rapi dalam bingkai dipajang di kantor Ilham. Tulisan itu mengingatkan saya pada pendapat Bill Kovach dan Tom Rosentiel, bahwa kewajiban pertama jurnalisme adalah kebenaran, loyalitas pertamanya kepada masyarakat. Ilham telah melakukan sebelum Kovack dan Rosentiel menulis buku The Elements of Journalism, 2001.
Perlawanan
Nama Ilham kini kembali ramai diberitakan. SIM Card Ilham dibajak dan uangnya di sejumlah bank, termasuk bank asing, dibobol pelaku. Ilham menulis kronologi pembajakan serta pembobolan dananya di laman facebooknya — bukan di ceknricek, media miliknya. Alasan Ilham, dia tidak ingin menggunakan medianya untuk urusan pribadinya.
Dari laman FB itu, berita meluas. Media, termasuk televisi, memberitakan dan mewawancarai Ilham. Berbagai reaksi pun muncul. Indosat, operator SIM Card Ilham, mengakui kesalahannya. Kominfo memanggil Indosat, yang membenarkan terjadi pelanggaran standar operasional prosedur (SOP).
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) pun, Jumat (24/1), mempertemukan Ilham dengan pihak PT Commonwealth Bank — di bank ini, uang Ilham paling banyak dikuras, bahkan terjadi 98 transaksi. Ombudsman RI juga bereaksi dan meminta Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI) segera bertindak.
Kasus itu terjadi saat Ilham berada di Australia. Pada 3 Januari, seseorang mengaku sebagai Ilham meminta pergantian SIM Card di gerai Indosat di Bintaro. Petugas gerai memberi kartu baru tanpa verifikasi memadai, bahkan tidak mengcopy KTP pelaku. Setelah itu, pelaku menguras dana Ilham di beberapa bank.
Pakar telematika Roy Suryo dan pakar siber Ardi Sutedja, menyebut kasus ini sebagai puncak gunung es. Banyak kejadian serupa dengan nilai kerugian besar, namun tidak muncul ke permukaan. Pihak bank juga cenderung tidak ingin kasus seperti ini dibuka, yang akan berpengaruh pada kepercayaan.
Di sinilah Ilham muncul — mungkin satu-satunya korban yang melawan. Respons publik laman FB menyadarkannya. Kasus yang menimpanya juga dialami banyak orang. Ratusan orang mengadukan dikuras uangnya di bank menggunakan SIM Card dengan kerugian jauh lebih besar, milyaran rupiah. Yang bikin dia trenyuh ada seorang ibu hamil dibobol uangnya sebanyak 40 juta, padahal itu tabungan yang disiapkan lama untuk biaya persalinan.
Sebagai wartawan — yang loyalitas pertamanya kepada masyarakat — Ilham mendahulukan memperjuangkan publik daripada memperjuangkan pengembalian uangnya. Kondisi ini tidak bisa dibiarkan. Banyak korban berjatuhan tanpa daya. Ada sekitar 170 juta pengguna telepon seluler, yang setiap saat terancam, keamanan mereka tidak terjamin. Ilham menggali berbagai informasi, mempelajari regulasi dan bertemu dengan sejumlah pakar. Perlawanan mutlak dilakukan.
Registrasi kartu prabayar pun mudah diakali. Salah satu yang merisaukan Ilham, Peraturan Pemerintah No.21/2019 tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik (PSTE) yang baru ditandatangani Presiden Jokowi 10 Oktober. Empat bulan setelah Jokowi menyampaikan pidato kenegaraan 16 Agustus 2019. Presiden mengingatkan pentingnya melindungi data pribadi publik. Secara eksplisit dikatakan itu aset bangsa, the new oil, harus dilindungi sepenuhnya. Tapi mengapa Pasal 21 ayat 1 PP PSTE itu bertolak belakang sdengan sikap Jokowi. Pasal 1 menyebutkan, pengelolaan, pemrosesan, dan penyimpanan data Elektronik dapat dilakukan di luar wilayah Indonesia.
Ini sungguh rawan. Meski PP menyebut dilakukan pengawasan, namun tetap saja ada peluang disalahgunakan. Apalagi mengingat sebagian besar operator dimiliki investor asing. “Ini menyangkut kedaulatan negara,” ujar Ilham dalam diskusi pekan lalu mengutip Presiden Jokowi yang kembali menyatakan sikap itu pada Peresmian Palapa Ring 1. "Kartu ponsel berbasis Nomor Induk Kependudukan, membuat kita seperti ikan yang telanjang di akuarium," katanya.
Berbagai kasus kejahatan yang terjadi, memang memperlihatkan lemahnya regulasi. Setiap hari, di handphone kita, masuk pesan singkat tentang promosi produk, padahal pengguna tidak pernah memberikan nomor handphone-nya. In contoh kecil.
Desember lalu, Polri dan Interpol menangkap tiga pelaku kejahatan siber di Jakarta dan Yogyakarta. Menurut polisi, mereka menanamkan kode JavaScript di toko online. Dari situ, mereka mencuri data kartu pembayaran saat pengguna memasukkan info kartu di dalam checkout dan formulir pembayaran.
Menurut polisi, mereka sudah beroperasi selama dua tahun, sebelum ditangkap 20 Desember 2019. Untuk menyembunyikan lokasi dan identitas asli, mereka menggunakan Virtual Private Network (VPN), yang mengakses perintah dan server kontrol untuk mengambil data kartu yang dicuri.
Ini sangat serius. Regulasi juga membuka celah seperti yang dimaui para penjahat. Tapi perbaikan harus dilakukan. Pengguna handphone harus terlindungi. Inilah peran negara.
llham telah menyentak kita. Pada 27 tahun lalu, Salim Said menulis opini berjudul Monumen Ilham Bintang, tentang perlawanan Ilham membongkar kebusukan perfilman nasional, kini Ilham berjuang untuk perubahan regulasi yang menjamin keamanan data pribadi masyarakat
Bagi seorang wartawan, berlaku prinsip bahwa kewajiban pertamanya adalah kebenaran, loyalitas pertamanya kepada masyarakat. Inilah monumen baru Ilham — sebagai penanda perlawanan.
Kasus ini terjadi menjelang peringatan Hari Pers Nasional 2020 pada 9 Februari di Banjarmasin, seperti mengirim pesan kepada seluruh wartawan untuk teruslah mengabdikan profesi demi melindungi publik. (*)
Baca Juga:Ijtihad Politik Pemilih 2020
Baca Juga:Karmila dalam Bayang-Bayang Politik Patronase Sang Ayah
Penulis pernah menjadi pemimpin redaksi Republika, pemimpin umum LKBN Antara, dan anggota kehormatan PWI pusat.
======================================================
Isi tulisan sepenuhnya tanggung jawab pengirim