Oleh: Kadarisman
SEORANG pakar kebijakan publik, Bromley pernah berteori: keberhasilan tingkat implementasi tidak sekadar berlandaskan pemikiran, tapi juga mesti memahami opini publik.
Lalu bagaimana opini publik menjelang pilkada di Balangan ini. Memahami opini publik berarti anda dapat memetakan medan perang, sehingga dapat menyusun strategi kemenangan.
Disadari jelang Pilkada Balangan yang digelar September 2020 nanti memasuki tahap stretching. Istilah dalam olahraga, saat ini adalah masa-masa pemanasan atau peregangan otot-otot tubuh sebelum masuk ke masa tarung sesungguhnya.
Sebagaimana pernah saya tuliskan sebelumnya, pilkada Balangan, walau sejatinya akan diikuti oleh bakal paslon dari independen, sejatinya kontestasi demokrasi di kabupaten berjuluk Bumi Sanggam ini hanyalah mempersandingkan secara “head to head” antara petahana dan mantan ketua DPRD Balangan.
Fenomena di Balangan ini mirip dengan pilkada Tabalong beberapa waktu lalu, kendati diikuti 4 Paslon saat itu, sejatinya hanya pertarungan antara Anang Syakhfini vs H Sani. Sayangnya, H Sani lalai jika waktu berjalan amat singkat, sehingga banyak kesempatan terbuang. Ketika petahana saat itu sudah gemar bermalam di kampung-kampung, H Sani belum menegaskan dirinya.
Jika di Tabalong petahana keluar sebagai pemenang secara hukum, tapi tak sedikit pihak yang meyakini H Sani lah pemenangnya. Bagaimana seorang kader Golkar yang terdepak itu maju dengan keputusan perseorangan lalu menempel sangat tipis suara sang petahana. Perbedaan yang berada di angka margin of error’ adalah angka yang layak diperdebatkan kemudian.
Head to Head itu akan terjadi di Balangan. Bedanya, dua kontestan yang bertarung adalah tokoh politik yang memahami peta dan medan pertarungan, memiliki basis masa yang jelas dan memiliki isu dan kelemahan yang jika dimainkan bisa menggeser swing voter berpihak kepadanya.
Kuatnya dua calon kontestan ini saling tarik menarik. Setidaknya hal itu tampak mata bagaimana “tim infanteri” yang bergerilya di darat telah telah dilakukan oleh dua kubu Ansharuddin dan Abdul Hadi. Anda boleh melihat di sudut-sudut kota, kecamatan dan desa dua kontestan ini sama-sama telah mengukuhkan maju dalam pilkada Balangan. Sementara pihak independen tenggelam dalam hiruk pikuk dua bakal calon kontestan ini.
Strategi pengenal diri dalam bentuk baliho, spanduk, reklame yang bersifat konvensional saat ini masih memiliki pengaruh nomor wahid.Jika kontestan melalaikan kesempatan ini, teori komunikasi memberikan garansi ia bakal karam dalam perebutan menanam pesan kepada calon pemilih.
Kendatipun dunia digital sudah merasuki sendi kehidupan masyarakat Balangan, pada beberapa penelitian nyatanya Balangan masuk ke dalam tipikal masih dipengaruhi oleh publikasi yang bersifat konvensional.Timses masing-masing calon boleh saja mengandalkan media sosial untuk melakukan sosialisasi diri, tetapi yang mesti diingat adalah, perbincangan di medsos bermula dari peraga apa yang terpasang di lapangan.
Mengandalkan medsos sebagai sarana mengenalkan diri bukanlah langkah salah.
Sebagai pihak yang melibatkan dalam pertarungan, kekuatan “udara” mesti pula dikuasai. Hal ini penting karena jangkauan tembak dapat menyasar lebih cepat dan efisien, terutama pada pemilih pemula.
Data pemilih pemula di masa pertumbuhan demografi menjadi penting dimiliki oleh kontestan, agar strategi sosialisasi dapat dilakukan sesuai dengan potensinya, apakah di “darat” atau di “udara.”
Meminjam istilah Bromley, dari semua strategi mengenalkan diri itu, hal penting dilakukan adalah bagaimana memahami opini publik yang berkembang. Anda tidak bisa asal bicara tentang karet, sementara masyarakat tertentu sedang mengembangkan bawang merah.
Tidak berhenti sampai di situ, wacana publik tentang figur yang akan dijajakan ke dalam pilkada Balangan juga memengaruhi hasil akhir dari keputusan memilih siapa.
Bahwa wacana perubahan atas kepemimpinan di Balangan merupakan salah satu wacana publik yang sangat kental. Hal yang pemilih minta adalah “menu” lain selain menu yang lama. Ada aspek demotivasi atas keadaan dan ada rasa keinginan menghadirkan nuansa baru dalam pilihan pilkada Balangan. Ini persoalan.
Ada banyak wacana publik yang dapat merekam kuatnya arus perubahan, misalnya suara kerinduan pada putra daerah dan pemimpin yang bersih dari isu yang berurusan dengan hukum. Pemilih ingin pemimpin yang bersih, memahami daerah dan orang daerah itu sendiri.
Isu primordialisme dalam demokrasi adalah kewajaran. Di Amerika Serikat yang mengklaim sebagai bapak demokrasi, primordialisme pun terjadi, bahkan lebih parah. Bagaiman Capres Donald Trump saat itu bahkan begitu rasis. Hal itu adalah fitrah demokrasi.
Namun demikian, esensi demokrasi harus pula menegaskan, bahwa putra daerah yang memiliki kapasitas dan bersih layak untuk diperlakukan sama dalam hal untuk diberikan kesempatan dipilih.Maknanya adalah bukan karena putra daerahnya tapi karena kelayakannya seperti kapasitas, pengalaman politiknya dan jejak rekam yang bersih.
Sayangnya, saya tidak sampai mendalami siapakah putra daerah dengan track record yang bersih dan berkapasitas itu. Yang tahu adalah pemilih itu sendiri. Merekalah yang menentukan!
Namun yang pasti memahami dan mampu memangguk opini publik menjelang pilkada, lalu mengolahnya dan men-treatmen-nya, itulah pemenangnya. Itu semua butuhkan waktu. Dan waktu yang penting adalah waktu sekarang! Wallahu’alam bissawab.
Editor: Fariz Fadhillah
Penulis adalah Pemerhati Sosial Politik Banua
==========================================================
Isi tulisan sepenuhnya tanggung jawab pengirim