Opini

Batu Bara dan Sawit Bukan Lagi Andalan, Siapkan Sektor Pariwisata?

Perekonomian Kalsel mengalami penurunan. Bahkan diprediksi anjlok bila terus bergantung pada dua sektor tak terbarukan. Yakni,…

Featured-Image
Tongkang batubara di Sungai Mahakam, Samarinda, Kalimantan Timur. Foto-Reuters/Willy Kurniawan

Perekonomian Kalsel mengalami penurunan. Bahkan diprediksi anjlok bila terus bergantung pada dua sektor tak terbarukan. Yakni, pertambangan batu bara dan perkebunan sawit, dalam Kalsel Bisa Ambyar Jika Terus Bergantung Batu Bara dan Sawit! (2020).

Oleh: Ratih Puji Lestari

KARENA ditinjau dari ekonomi, Kalsel masih berkutat di sektor kelapa sawit, batu bara, karet, dan pertanian. Karenanya Ketua Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Kalimantan Selatan Edy Suryadi meminta pemerintah untuk mencari sektor lain yang bisa meningkatkan perekonomian Kalsel.

Salah satu caranya adalah dengan membuat berbagai program kerja dan pembangunan infrastruktur agar sektor alternatif bisa berkembang, baik itu sektor perkebunan, pertanian, perikanan hingga sektor pariwisata.

Dan saat ini pariwisata menjadi sektor lain yang diangkat untuk memenuhi tuntutan tersebut. Oleh sebab itu, dibukalah pintu investasi sebesar-besarnya untuk para investor dalam dan luar negeri untuk berinvestasi di sektor pariwisata.

Memang benar bidang pariwisata memiliki manfaat ekonomi (kesejahteraan) bagi satu wilayah atau daerah sebab tertuntut meningkatkan macam-macam pelayanan dan fasilitas baik dalam jumlah dan ragamnya.

Hal ini memberi manfaat ekonomi bagi penduduk, pengusaha, dan pemerintah setempat. Akan tetapi apakah manfaat ekonomi dapat dirasakan masyarakat luas?

Apalagi jika sejak awal untuk menggerakkan sektor pariwisata mengandalkan investor dan bukan pemerintah.

Skema usaha oleh investor tentu berorientasi keuntungan (profit oriented) yang tentunya banyak masuk ke kantong pribadi dibandingkan yang masuk kas daerah, sehingga keuntungan bisnis pariwisata jelas lebih banyak dinikmati investor.

Adapun masyarakat di daerah wisata hanya menikmati serpihan berkah pariwisata dengan jualan produk lokal dan cinderamata, menjadi juru parkir, petugas kebersihan dan lain sebagainya yang tidak signifikan mendongkrak ekonomi masyarakat secara luas.

Sama halnya sektor pertambangan batu bara jika pengelolanya swasta dan bukan pemerintah, maka keuntungan pertambangan banyak dinikmati pengusaha-pengusaha yang dapat masuk ke sektor pertambangan, sementara masyarakat sekitar banyak yang hanya menjadi penonton daerah mereka dieksploitasi kekayaan alamnya berikut merasakan dampak kerusakan lingkungannya.

Maka konsep pengembangan sektor pariwisata jika mengandalkan investasi justru membuka keran liberalisme ekonomi yang keuntungannya hanya dinikmati segelintir orang swasta.

Meski begitu diharapkan menjadi sektor andalan, tentu juga harus dipikirkan dampak-dampak negatif sektor pariwisata. Di antaranya rusaknya lingkungan dan ketidakstabilan ekonomi rentan terhadap kondisi pariwisata yang fluktuatif. Sebagai konsekuensinya, wisatawan dan masyarakat lokal dapat membayar harga yang lebih tinggi untuk mendapatkan pelayanan, makanan-minuman, bahan bakar, penginapan dan lain-lain.

Begitu juga dengan investor atau pengusaha luar biasanya mempunyai pengalaman serta sumber pendanaan lebih banyak. Seringkali dengan pengalaman, pengetahuan serta kekuatan yang mereka miliki timbul kecenderungan bahwa mereka akan mengatur kegiatan pariwisata dan dapat menekan orang lokal atau menimbulkan kesan seolah-olah orang lokal hanya sebagai peran pembantu saja.

Perubahan budaya juga tidak dapat dielakkan. Perubahan budaya negatif yang terjadi di masyarakat tidak akan terbendung di antaranya budaya hidup permisif, hedonis, konsumtif, pergaulan bebas, hingga terkikisnya budaya lokal.

Sesungguhnya Kalimantan Selatan memiliki potensi ekonomi yang sangat besar dan beragam dan kesemuanya sangat potensial menjadi sumberdaya ekonomi mensejahterakan masyarakatnya.

Sebutlah pertambangan, pertanian, perkebunan, perikanan, pariwisata, dan lain sebagainya. Hanya saja, pengaturan ekonomi yang diterapkan bukanlah aturan ekonomi yang mampu dan bisa memenuhi cita-cita kesejahteraan masyarakat.

Kecenderungan pengaturan ekonomi bertumpu pada kekuatan investor atau pengusaha swasta hanya akan melahirkan kesenjangan ekonomi dan minimnya sumberdaya ekonomi yang dapat dimanfaatkan pemerintah memenuhi kebutuhannya.

Pengaturan ekonomi mensejahterakan sebenarnya bukanlah mitos yang tidak dapat dicapai dalam riil kehidupan. Sebab faktanya negara yang kehidupannya makmur, aman, sentosa dan sejahtera pernah ada.

Dalam kajian literatur kita dapatkan pernah terwujud kesejahteraan secara luas dirasakan rakyat negara hingga masyarakat menolak diberi zakat.

Mungkin saat ini bisa berupa berbagai macam bantuan. Saat itu negara tersebut membangunan kehidupan negara dan ekonominya berdasarkan pengaturan Islam yang membagi 3 konsep kepemilikan. Yakni kepemilikan individu, kepemilikan umum, dan kepemilikan negara. Sehingga distribusi kekayaan dan harta dapat merata dirasakan manfaatnya.

Menjadi jelas bagi negara untuk mengelola ekonomi secara mandiri tanpa bergantung pada asing (investor). Sumber pemasukan negara sudah dapat ditetapkan tanpa kebingungan lagi memikirkan sumber ekonomi, sebab sudah dipastikan didapatkan dari kepemilikan umum dan kepemilikan negara. Tanpa pengaturan ekonomi yang tepat meski potensi sumberdaya ekonomi melimpah, tidak akan pernah mampu menopang ekonomi daerah bahkan negara. Maka apa yang bisa diandalkan? (*)

Baca Juga:Pesan kepada Kawan

Baca Juga: Monumen Baru Perlawanan Ilham Bintang

Baca Juga:Menyoal (Calon) Kepala Daerah

Penulis tinggal di Tanah Laut dan berprofesi sebagai guru honorer di SMK di Tanah Laut.

======================================================================

Isi tulisan sepenuhnya tanggung jawab penulis.

Tags
Opini


Komentar
Banner
Banner