bakabar.com, JAKARTA - Mantan Menteri Hukum dan HAM Yusril Ihza Mahendra menyatakan siap jika pemerintah memintanya menjadi pengacara atau lawyer dalam setiap gugatan internasional.
"Ini agar RI tidak kecolongan dan menjadi bahan permainan negara-negara lain karena lemahnya posisi kita dalam perjanjian internasional, di mana kita terlibat sebagai pihak di dalamnya," jelas Yusril kepada bakabar.com, Senin (15/4).
Baca Juga: Pidato Lengkap Jokowi Saat Puncak Musra di Istora Senayan
Yusril siap menjadi pembela pemerintah Indonesia jika ada sengketa di badan-badan arbitrase dan gugatan di berbagai lembaga peradilan atau quasi peradilan di negara lain, termasuk pula pengadilan internasional.
Hal itu dinyatakan Yusril menjawab pertanyaan wartawan sehubungan dengan tanggapannya atas pidato Presiden Jokowi di hadapan relawan (Musyawarah Rakyat) di Jakarta, Sabtu 13 Mei 2013.
Baca Juga: Jokowi Klaim Tak Gentar Hadapi Gugatan Negara Lain Soal Hilirisasi Tambang
Dalam pidato itu, Jokowi menyinggung seringnya Pemerintah RI kalah menghadapi gugatan negara-negara lain di berbagai forum dan badan-badan peradilan internasional.
Karena itu, kata Jokowi, Indonesia perlu pemimpin masa depan, yang berani dan tangguh mempertahankan kepentingan bangsa dan negara berhadapan dengan negara-negara lain.
Baca Juga: Jokowi Manfaatkan Dukungan Relawan untuk Legacy Politiknya
Yusril mengatakan kuatnya posisi hukum Pemerintah RI itu harus dimulai ketika merumuskan kebijakan dalam negeri terkait ekspor-impor, penanaman modal dan kebijakan pembangunan industri dalam negeri. Pemerintah harus menciptakan instrumen hukum yang kuat dan mengajak negara-negara lain yang mempunyai posisi yang sama agar tidak mudah diombang-ambingkan oleh kepentingan negara-negara maju.
Negara-negara maju menurut Yusril, sebenarnya tidak ingin RI menjadi negara industri seperti mereka. Mereka maunya RI selamanya menjadi eksportir bahan-bahan mentah untuk melayani kepentingan industri mereka.
"Mereka maunya kita menguras habis sumber daya alam kita. Sementara hukum pertambangan kita sendiri, tanpa sadar memberi peluang untuk itu. Ini kesalahan fatal kita sendiri," kata Yusril.
Baca Juga: Yusril Bakal Mundur dari Caleg PBB Jika Dipinang jadi Cawapres
Sementara dalam membuat kontrak dan perjanjian internasional, pemerintah, kata Yusril, sering lalai dan tidak memperkuat posisi sebagai pihak sedari awal.
Akibatnya, ketika digugat, pemerintah tidak mampu mempertahankan kepentingan-kepentingan. Yusril memberi contoh kontrak yang dibuat oleh beberapa BUMN dengan pihak luar negeri yang menempatkan posisi pemerintah begitu lemah, sehingga rentan menderita kekalahan jika digugat pihak lain di luar negeri.
Secara kenegaraan, Yusril berkeinginan untuk menata ulang kelembagaan yang menjadi leading sector dalam menangani perjanjian internasional. Dahulu perjanjian-perjanjian internasional lebih banyak ditangani oleh Departemen Kehakiman, namun saat ini sejak adanya UU No. 24 Tahun 2000, Perjanjian Internasional, lebih banyak ditangani oleh Kementerian Luar Negeri.
Baca Juga: Nyetir Sendiri, Yusril Bahas Koalisi Besar di DPP PAN
"Saya kira tidak semua urusan luar negeri harus ditangani oleh Kementerian Luar Negeri, sebagaimana tidak semua urusan dalam negeri ditangani oleh Kemendagri," ujar Yusril.
"Ke depan, kita harus menata ulang apa yang kita anggap sebagai kelemahan yang kita rasakan sekarang," pungkas Yusril.