bakabar.com, JAKARTA - Pernyataan Presiden Joko Widodo yang menyampaikan pengakuan, penyesalan, dan jaminan ketidakberulangan 12 kasus pelanggaran berat HAM dinilai sebatas kalimat kosong yang terus berulang.
Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) mendesak pengakuan dan penyesalan tersebut harus dibuktikan secara konkrit melalui proses hukum, tindakan dan keputusan-keputusan strategis.
Pembentukan Tim Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran Hak Asasi Manusia (TPP HAM) dianggap tidak lebih dari pencitraan Pemerintahan Presiden Joko Widodo di akhir masa jabatannya.
Baca Juga: YLBHI: 2022 Negara Berperan Aktif Menjadi Pelaku Pelanggaran HAM
“Ini seolah memenuhi janji politiknya dan bagian dari langkah pemerintah untuk terus memberikan impunitas kepada pelaku pelanggaran HAM berat, terlebih menjelang Pemilihan Umum 2024,” ujar Muhammad Isnur, Ketua YLBHI, Kamis (12/1).
Menurutnya, hal itu dapat dilihat dalam 11 rekomendasi yang disampaikan oleh TPP HAM pada 11 Januari 2023 melalui Menkopolhukam Mahfud M.D.
"Kepada presiden, di mana tidak ada satupun yang menyebutkan adanya dorongan pemerintah untuk akselerasi dan akuntabilitas penegakan hukum kasus-kasus pelanggaran HAM melalui pengadilan HAM berat yang selama ini mangkrak di Kejaksaan Agung,” katanya.
Sementara itu, YLBHI dan 18 LBH daerah menyoroti pembentukan TPP HAM yang tidak memiliki dasar hukum memadai. Pasal 47 UU 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM mengatur bahwa penyelesaian pelanggaran HAM Berat melalui ekstra yudisial harus dibentuk melalui Undang-Undang.
Baca Juga: Komnas HAM Layangkan Surat ke FIFA, Duga Ada Pelanggaran HAM di Tragedi Kanjuruhan
“Jadi mekanisme penyelesaian non-yudisial yang hanya berdasar Keputusan Presiden tentu secara legitimasi hukum menjadi patut dipertanyakan kekuatan hukumnya, karena justru bertentangan atau melanggar Undang-Undang,” imbuh dia.
Keraguan YLBHI terhadap pernyataan Presiden sendiri, tidak bisa dilepaskan dari rekam jejak pemerintah dalam menyikapi berbagai peristiwa pelanggaran HAM yang terjadi.