Keadilan Iklim

Warning! Tak Ada Keadilan Iklim, Indonesia Darurat Bencana

Direktur Eksekutif Yayasan Pikul, Torry Kuswardono menyampaikan Keadilan iklim tak boleh diabaikan jika Indonesia ingin sukses menahan laju perubahan iklim.

Featured-Image
Foto ilustrasi bencana kekeringan. Foto: Antara

bakabar.com, JAKARTA - Direktur Eksekutif Yayasan Pikul, Torry Kuswardono mengungkapkan keadilan iklim tak boleh diabaikan jika Indonesia ingin berhasil menahan laju perubahan iklim. Hal tersebut dapat dimulai mensinergikan adaptasi dan mitigasi iklim agar keadilan iklim dapat dilakukan.

"Sebaliknya, jika adaptasi iklim bisa dilakukan, maka akan menghasilkan masyarakat yang adil,” terang dia dalam diskusi publik dengan tajuk Narasi Keadilan Iklim: Penting Mendorong Peraturan Undang-undang Terkait Keadilan Iklim, Jakarta, Senin (20/11).

Menggapai keadilan iklim, kata Torry, pemerintah perlu memperluas partisipasi publik dalam penyusunan kebijakan iklim. Dengan begitu, diharapkan aksi dan mitigasi iklim dapat memberikan dampak positif.

Baca Juga: Gegara Perubahan Iklim, Indonesia Terancam Tenggelam

Partisipasi publik juga perlu melibatkan kelompok rentan agar turut efektif beradaptasi dengan perubahan iklim dan mencegah maladaptasi.

Hal tersebut perlu dijamin dengan kepastian hukum agar memberikan keadilan bagi kelompok rentan. Sebab, selama ini kelompok rentan yang paling terdampak dari bencana iklim.

“Pada prinsipnya yang paling menderita harus menerima manfaat lebih besar daripada manfaat yang diterima orang rata-rata supaya ketimpangan bisa ditangani,” ujarnya. 

Baca Juga: Cegah Jakarta Tenggelam, ESDM Keluarkan Aturan Pemakaian Air Tanah

Komisioner Komnas Perempuan, Siti Aminah menilai partisipasi publik dalam pembuatan kebijakan, terutama kelompok rentan perlu dibuka secara luas dan bebas dari tekanan.

diskusi publik dengan tajuk Narasi Keadilan Iklim: Penting Mendorong Peraturan Undang-undang Terkait Keadilan Iklim
diskusi publik dengan tajuk Narasi Keadilan Iklim: Penting Mendorong Peraturan Undang-undang Terkait Keadilan Iklim, Jakarta, Senin (20/11). Foto: bakabar.com/Ayyubi

Pasalnya, selama ini suara publik sering diabaikan dalam pembuatan hukum atau kebijakan. Keputusan politik justru didominasi oleh kelompok oligarki dengan kepentingan terselubung. Pola seperti itu juga berlanjut di tingkat perumusan undang-undang dan lembaga peradilan dengan menutup rapat partisipasi publik.

"Perlu perubahan yang transformatif agar suara-suara kelompok rentan benar-benar ditampung dalam kebijakan,” ujarnya. 

Baca Juga: 40 Ribu Orang Muda Siap Terlibat Menjadi Relawan Penjaga Iklim

Hal itu juga diperkuat oleh pandangan Direkrur Eksekutif Indonesian Center for Environmental Law (ICEL) Reynaldo G Sembiring yang menganggap Undang-undang perubahan iklim merupakan narasi yang tidak netral, serta terkesan terlalu birokratis dan struktural.

Hal serupa juga terjadi dalam proses UU Cipta Kerja yang dalam pengesahannya memunculkan problematik. Kemudian, belakangan hakim konstitusi yang berinisiatif memperbaiki UU Cipta Kerja justru dicopot dari posisinya.

"Ketika kita lihat hukum bisa direlatifkan dengan kepentingan. Apakah situasi hukum yang seperti ini akan menciptakan keadilan iklim?," tanya dia.

Baca Juga: Siasat Ritel Modern soal Konsumen Mulai Boikot Produk Pro Israel

Ketua Badan Pengurus YLBHI, Muhammad Isnur menambahkan ketidakadilan iklim ini terbentuk karena ketimpangan kuasa. Terlebih, kalangan industri ekstraktif terkesan memiliki hak istimewa dalam operasionalnya.

Sedangkan kelompok rentan berisiko menghadapi penggusuran, pencemarah udara, hingga kerusakan lingkungan dari aktivitas yang tidak dilakukannya secara besar-besaran. Ini terlihat dari sekian kasus Proyek Strategis Nasional (PSN) yang selama ini diadvokasi oleh LBH.

"Dalam kasus ini banyak aspek HAM yang dilanggar. Misalnya hak informasi, hak rasa aman, serta hak atas air lingkungan dan pangan,” ujar dia.

Baca Juga: Pakaian Bekas Impor Dilarang Beredar, Omzet Pedagang Terjun Bebas

Dalam menyayangkan sikap anomali pemerintah yang menjadikan perubahan iklim sebagai isu strategis. Namun di sisi lain justru memberi jalan bagi industri ekstraktif yang menyebabkan kenaikan panas suhu bumi.

"Tidak ada pemulihan yang ada pemanfaatan terus. Justru yang dikhawatirkan dari perubahan iklim adalah ketidakmampuan negara untuk mengantisipasinya. Karena sejauh ini belum ada paradigma yang membangun," pungkasnya.

Editor


Komentar
Banner
Banner