Longsor Jalan Nasional

Walhi: Tambang 'Ugal-ugalan' Biang Longsor Satui

Analisis Walhi menemukan longsornya jalan nasional di Satui, Tanah Bumbu imbas ugal-ugalannya aktivitas pertambangan batu bara.

Featured-Image
Walhi mendapati fakta aktivitas pertambangan batu bara di sekitar areal longsor hanya terpaut hitungan meter dari permukiman warga. Foto: Kisworo untuk apahabar.com

bakabar.com, BANJARMASIN - Organisasi Lingkungan Hidup, Walhi menyebut longsornya jalan nasional Kilometer 171 Satui, Tanah Bumbu imbas masifnya aktivitas pertambangan.

Sebelumnya ruas penghubung provinsi Kaltim-Kalsel tersebut mengalami longsor sejak Rabu (28/9) lalu. Guguran tanah menggerus 200 meter ruas jalan dan berpotensi terus bertambah parah. Selain jalan, Walhi mendapati 27 rumah mengalami kerusakan.

Dari hasil kajian, Walhi menemukan fakta lubang tambang yang amat berdekatan di sekitar lokasi kejadian. "Lubang tambang dengan jalan hanya berjarak 38 meter dari sisi utara dan 152 meter dari sisi selatan," papar Direktur Eksekutif Walhi Kalsel, Kisworo Dwi Cahyono, Kamis (13/10).

Lubang tambang juga sangat dekat dengan sungai atau hanya berjarak 195 meter. Pun demikian dengan permukiman warga. "Hanya berkisar 79 meter hingga 42 meter," ungkap pria yang akrab disap Kis itu.

Selanjutnya Walhi mendapati di dekat titik longsor masih terdapat tambang aktif yang berjarak 183 meter. "Titik longsor juga berjarak 19 meter dari lubang pasca-tambang yang sudah terbengkalai," jelasnya.

Dari hasil penelusuran Walhi Kalsel, di sekitar lokasi jalan negara yang longsor, perusahaan yang masih mengantongi izin dan beraktivitas di Satui Barat adalah PT Mitrajaya Abadi Bersama (PT MJAB).

Perusahaan itu mendapati izin menambang oleh Gubernur Kalsel, Sahbirin Noor dengan luas konsesi sekitar 198 hektare sejak 2020 silam lewat Surat Keputusan (SK) 503/6-IUP.OP4/DS-DPMPTSP/IV/III/2020.

Penampakan dari udara lokasi longsor jalan nasional Km 171 Satui Tanah Bumbu. Foto: Kisworo untuk bakabar.com
Penampakan dari udara lokasi longsor jalan nasional Km 171 Satui Tanah Bumbu. Foto: Kisworo untuk bakabar.com

Di sisi lain, ada konsesi PT Arutmin yang baru saja diperpanjang pada November 2020 lalu dari Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) seluas 11.403 hektare dengan nomor SK 221 K/33/MEM/2020 oleh Kementerian Energi dan Sumber Daya Alam Mineral (ESDM).

Menurut Kis dekatnya lokasi galian tambang dengan jalan nasional serta permukiman warga jelas merupakan suatu pelanggaran. Mengacu Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 4 Tahun 2012 tentang Indikator Ramah Lingkungan untuk Usaha Kegiatan Penambangan Terbuka Batu Bara, jarak minimal tepi galian lubang tambang dengan permukiman warga adalah 500 meter.

Selain itu, Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2011 tentang Sungai, juga mengatur tentang sempadan sungai paling sedikit 50 meter kiri dan kanan untuk sungai kecil, dan 500 meter untuk sungai besar.

Lalu merujuk Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2010 tentang Reklamasi Pasca-Tambang, perusahaan tambang seharusnya menutup lubang tambang setelah melakukan pengerukan.

Baca Juga: Menanti Komitmen Polri atas Peristiwa Km 171 Satui

Dalam UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup juga mengatur hak-hak masyarakat terhadap lingkungan hidup ataupun terhadap pengelolaan lingkungan hidup.

"Salah satunya Pasal 65 yang mengatur hak setiap orang atas lingkungan hidup," tambahnya.

Kis menilai jika negara terlalu banyak berkompromi terhadap korporasi yang tidak bertanggungjawab, bahkan berkelit dan lari dari kewajiban atas kejadian ini.

Misalnya, Kis mengingatkan jika 762 meter dari lokasi longsor tersebut juga pernah dilakukan pemindahan jalan negara akibat insiden serupa. Kemudian beberapa kasus tercatat antara lain Juli 2022 longsor di Desa Bukit Mulya, Kintap, Tanah Laut. Lalu, longsor di Tatakan, Tapin pada Oktober 2021. Dan, Longsornya jalan di Desa Bunati, Angsana, Tanbu pada Mei 2021.

Mundur beberapa tahun yang juga masih segar di ingatan adalah kasus longsor lubang pasca-tambang di Desa Kintap, Tanah Laut pada 2017 lalu.

"Kejadian ini selalu terulang dan pemerintah kembali terbukti lalai dan selalu membiarkan kerusakan," jelasnya. 

Baca Juga: Longsor Satui Tanah Bumbu, Ormas Barisan Muda Kalimantan: Pemerintah Terkesan Lamban Menangani

Rusaknya puluhan rumah imbas jalan longsor membuat setidaknya 23 kepala keluarga mengungsi. "Ada juga warga terdampak di luar kuasa advokasi kami," ujar Agus Rismalianoor, kuasa hukum korban terdampak longsor Satui dihubungi terpisah, Kamis pagi (13/10).

Situasi terkini, kata Agus, belum terlihat perbaikan signifikan. Baru sebatas penanganan sementara, seperti penimbunan batu base course di jalan cadangan samping jalan yang longsor, perapian lereng bekas longsor, dan pemindahan tiang listrik PLN.

"Sampai kemarin, kami tidak melihat lagi aktivitas alat berat menambang, mungkin karena hujan atau seperti apa alasannya kami kurang tahu," ujar Agus.

Tuntutan Walhi

Kis menilai tata kelola pertambangan di Kalsel masih carut marut dan serampangan. "Ini membuktikan bahwa pemerintah dan penegak hukum selalu lalai," imbuhnya.

Beberapa fakta ini, menurut Kis, membuktikan bahwa semakin lemahnya pengawasan dan penindakan negara terhadap sektor industri ekstraktif yang punya daya rusak tinggi ini.

Kis menganggap jika negara hanya berorientasi terhadap profit atau keuntungan tanpa melihat lebih jauh kerugian atau dampak buruk dari investasi tambang batu bara.

Walhi Kalsel pun mendesak perusahaan tambang untuk segera bertanggungjawab memperbaiki, dan memulihkan lokasi longsornya jalan negara.

"Perbaiki kerusakan lingkungan termasuk sungai, drainase, dan infrastruktur lainnya," seru Kis.

"Kami juga mendesak pelaku usaha industri ekstraktif bertanggungjawab menyiapkan sistem peringatan dini dan tanggap bencana di sekitar wilayah izinnya," tambah Kis.

Kis lalu meminta Gubernur Sahbirin Noor segera turun berkoordinasi dengan pemerintah pusat untuk mengevaluasi seluruh perizinan ekstraktif dan monokultur sekala besar.

Pemerintah, kata dia, jangan sampai menggunakan dana rakyat untuk melakukan pemulihan kerusakan lingkungan.

"Evaluasi juga rencana tata ruang wilayah (RTRW). Buat juga Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) yang pro terhadap keselamatan rakyat dan lingkungan serta mampu meminimalisir bencana ekologis," ujarnya.

Terakhir, harap Kis, Polda Kalsel harus segera melakukan penegakan hukum terhadap pelaku perusak lingkungan. "Kalau perlu Mabes Polri juga turun," ujarnya. 

Editor


Komentar
Banner
Banner