bakabar.com, BANJARBARU - Presiden Joko Widodo menggagas program food estate di Indonesia, termasuk di Kalimantan Tengah. Program ini bertujuan untuk mencegah ancaman krisis pangan di tanah air.
Food estate dengan perkebunan singkong di lahan seluas 600 hektare di Kalteng itu sudah berjalan sekitar dua tahun.
Megaproyek yang mengorbankan ratusan kawasan hutan di Kalteng itu mendapat sorotan Wahana Lingkungan Hidup Indoensia (Walhi) Kalsel.
Manajer Advokasi dan Kampanye Walhi Kalsel, Jefri Raharja alias Cecep mengatakan, dari awal pihaknya bersama koalisi masyarakat sipil lain telah menolak proyek food estate yang potensi gagalnya sangat tinggi.
"Penolakan juga didasari dengan pengalaman masa lalu terkait PLG (Pengembangan Lahan Gambut) satu juta hektare di rezim Soeharto waktu itu," ketusnya, Selasa (22/8).
Proyek seluas 1,45 juta hektare di Kalteng pada tahun 1995 tersebut nyatanya tidak sukses. Bahkan berantakan.
Ada sebanyak 15 ribuan transmigran yang ditempatkan untuk menggarap lahan. Ternyata lahan yang rencananya digarap hanya siap olah, belum siap tanam.
Selain itu, dari 2.500 hektare rencana luas sawah, hanya 200 hektare yang bisa dialiri air. Miris.
Begitu juga megaproyek yang selama ini terus digembor pemerintah yaitu food estate. Walhi menilai ini semacam solusi gadungan. Palsu.
Total lahan kegiatan intensifikasi dan ekstensifikasi mencapai 165 ribu hektare. Cecep menyebut, perubahan pola tanam dari dua kali menjadi tiga kali dalam setahun menyebabkan gagal panen di periode tanam pertama dan tidak maksimal produksi pada periode tanam berikutnya.
"Hal ini yang terkesan sangat dipaksakan bahkan melawan alam," katanya.
Proyek amburadul ini juga membuka kawasan hutan seluas 600 hektare dari luas area of imterest seluas 35 ribu hektare.
"Artinya pembukaan kawasan hutan, justru akan menimbulkan dampak kerusakan lingkungan seperti terjadinya banjir di desa terdekat area food estate," tegasnya.
Dari itu Walhi mendesak negara untuk segera melakukan evaluasi menyeluruh terhadap program food estate ini. Termasuk di Kalteng.
"Kami mendesak agar dilakukan evaluasi. Baik terkait pelaksana maupun kelayakan proyek itu sendiri mengingat pengalaman yang terjadi pada PLG di Tahun 1995," tuntas Cecep.
Editor