bakabar.com, JAKARTA - Konflik Agraria di Desa Bangkal, Kecamatan Seruyan Raya, Kabupaten Seruyan, Kalimantan Tengah yang menimbulkan korban jiwa, menunjukkan pemerintah termasuk aparat penegak hukum masih menerapkan pola-pola lama. Pendekatan yang dipilih tetap mengedepankan kekerasan dan cara-cara represif.
Pemerintah juga menunjukkan pendekatan yang mengutamakan formalistik dan legalistik, ketimbang dialog bersama masyarakat. Karena itu, konflik Seruyan merupakan problem struktural yang juga dialami oleh masyarakat di banyak tempat di Indonesia.
Atas dasar itu, Konsorsium Pembaharuan Agraria (KPA) menuntut dan mendesak pemerintah untuk menghentikan segala bentuk kekerasan dan tindakan represif di wilayah-wilayah konflik agraria. Hal itu penting untuk meminimalisir jatuhnya korban jiwa.
KPA kembali mengingatkan, aparat keamanan seharusnya hadir untuk memberi perlindungan terhadap masyarakat, bukan memerangi mereka. Apa dipertontonkan selama ini justru membuktikan, potensi pelanggaran hak azasi manusia oleh aparat penegak hukum.
Baca Juga: Tragedi Seruyan, Sangkalan Polda Kalteng Dibantah Walhi!
Lebih jauh, KPA menilai, pemerintah gagal dalam mewujudkan reforma agraria seperti yang dicita-citakan. Janji untuk menyediakan 9 juta hektar retribusi tanah dan penyelesaian konflik agraria tidak berjalan mulus.
Apa yang terjadi di Seruyan, Kalimantan Tengah, memperlihatkan bahwa banyak tanah-tanah masyarakat adat dan tanah petani kecil tak kunjung direkomisi meskipun ada kebijakan reformasi agraria.
Atas dasar itu, KPA menuntut Presiden Joko Widodo di akhir masa pemerintahannya untuk melakukan pemulihan dan pemenuhan hak atas tanah masyarakat. Hal itu penting dilakukan demi rasa keadilan.
Video Journalist: Bambang Susapto
Video Editor: Iskandar Zulkarnaen
Produser: Jekson Simanjuntak