bakabar.com, BANJARBARU - Sebanyak 850 hektare Area Penggunaan Lain (APL) atau tanah ulayat di Kalimantan Selatan rawan dengan konflik, kalau tidak segera didaftarkan.
Potensi itu disampaikan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertahanan Nasional (ATR/BPN), Nusron Wahid, ketika melakukan kunjungan kerja ke Kalsel, Kamis (31/7).
Nusron mengungkap dari total sekitar 2,05 juta hektare APL di Kalsel, baru 1,2 juta hektare yang terdaftar dan terpetakan.
"Masih sekitar 42 persen atau 850 ribu hektare yang belum memiliki kepastian hukum," papar Nusron.
Di antara luasan itu, sangat mungkin terdapat tanah ulayat milik masyarakat adat. Kalau tidak segera didaftarkan, suatu hari bisa saja terdapat individu atau korporasi yang mengklaim lahan, bahkan dengan bantuan oknum aparat desa atau pejabat.
"Kasus seperti itu pernah terjadi di Riau, Sumatera Selatan dan Jambi. Konflik terjadi antara masyarakat adat dan pihak yang mengklaim," tukas Nusron.
Dengan demikian, pendaftaran tanah ulayat bukan sekadar formalitas, tapi bentuk perlindungan hukum atas hak masyarakat adat.
Kalau sudah terdaftar atas nama masyarakat adat, maka pengalihan harus dengan persetujuan seluruh anggota komunitas adat.
"Ini adalah bentuk mitigasi agar tanah adat tidak mudah klaim. Pun kami sudah mengidentifikasi beberapa titik tanah ulayat di Kalsel," klaim Nusron.
Sementara Sekretaris Daerah Provinsi (Sekdaprov) Kalsel, Muhammad Syarifuddin, menilai peraturan ini membuka ruang untuk perlindungan lebih kuat terhadap tanah ulayat.
"Kegiatan sosial tersebut sangat penting untuk memperkuat pemahaman semua pihak dalam mengimplementasikan regulasi, termasuk proses identifikasi dan penetapan tanah ulayat," timpal Syarifuddin.
Perlindungan hak ulayat tidak hanya dilakukan secara administratif, tapi juga menyangkut nilai-nilai sosial, budaya dan lingkungan.
"Semoga implementasi regulasi ini mampu meredam potensi konflik, memperkuat keadilan agraria dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat adat," tutup Syarifuddin.