bakabar.com, JAKARTA – Menteri Keuangan Amerika Serikat (AS) Janet Yellen mengakui jika utang negaranya telah mencapai batas tertinggi. Nilai utang AS saat ini telah menyentuh USD31,4 triliun atau Rp474,7 kuadriliun (Kurs Rp15.700 per dolar).
Jumlah tersebut membuat AS terancam mengalami gagal bayar yang secara tidak langsung akan berimbas pada ekonomi sejumlah negara, termasuk Indonesia.
Menyikapi hal itu, Wakil Direktur Indef Eko Listiyanto mengungkapkan jika faktor penyebab melonjaknya nilai utang AS, salah satunya akibat penanganan pandemi Covid-19.
“Karena penanganan itu membutuhkan biaya banyak kemudian utang melonjak. Sebetulnya batas utang sempat naik pada tahun 2021, tapi ternyata terlewati pada tahun ini,” ujarnya dalam Market Review yang diadakan IDXChannel, Selasa (2/5).
Baca Juga: Melambatnya Pertumbuhan Ekonomi AS, Kurs Rupiah Menguat
Jebolnya batas utang AS, membuat sejumlah negara khawatir akan terjadinya perlambatan ekonomi. Hal itu sangat mungkin terjadi mengingat ekonomi dunia sebagian besar dipengaruhi oleh aktivitas dagang dengan AS.
AS sendiri menjadi penyumbang terbesar dari banyaknya kegiatan ekspor komoditas, termasuk yang berasal dari Indonesia. Untuk itu, jika AS mengalami gagal bayar, kemungkinan besar target pertumbuhan ekonomi Indonesia sebesar 5 persen tidak akan tercapai.
“Walaupun banyak pro dan kontra, secara praktik AS sendiri belum pernah mengalami yang namanya gagal bayar,” ungkap Eko.
Hal tersebut dikarenakan roda perekonomian AS yang sampai saat ini masih cukup kuat. Di sisi lain, pemerintah Indonesia telah menerapkan sejumlah langkah antisipasi. Kebijakan hilirisasi pada sejumlah komoditas merupakan salah satu upaya untuk melindungi pertumbuhan ekonomi dalam negeri.
Baca Juga: Kondisi Ekonomi AS, Berimbas Terhadap Ekspor Komoditas Perikanan
“Selain itu, kebijakan bilateral dengan menggunakan mata uang lokal pada perdagangan antarnegara bisa sangat membantu menjaga perekonomian,” ungkapnya.
Oleh sebab itu, Indef memproyeksikan pertumbuhan ekonomi Indonesia pada tahun 2024 mencapai 4,8 persen. Hal tersebut termasuk bagus mengingat banyaknya gejolak yang terjadi pada tahun ini.