bakabar.com, JAKARTA - Indonesia berkomitmen untuk mengurangi emisi gas rumah kaca (GRK) untuk mencapai Net Zero Emission (NZE) pada tahun 2060 atau lebih cepat.
Salah satu strategi yang digenjot saat ini yakni mempercepat pensiun dini Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) berbasis batu bara. Program pensiun dini PLTU didukung oleh sejumlah negara-negara maju (G7) yang dipimpin oleh Amerika Serikat dan Jepang yang memiliki inisiatif Just Energy Transition Partnership (JETP).
Inisiatif itu merupakan program dukungan pendanaan dari negara maju khusus untuk Indonesia agar meninggalkan pemakaian energi fosil seperti batu bara dan segera melakukan transisi energi.
Komitmen pendanaan melalui JETP mencapai USD 20 miliar atau sebesar Rp300 triliun (asumsi kurs Rp 15.000 per USD) dengan target Indonesia harus mengurangi sebesar 290 juta ton emisi karbon di sektor kelistrikan dan menerapkan sebesar 34% bauran energi terbarukan pada tahun 2030.
Baca Juga: Rusak Lingkungan, Walhi Sulteng Serukan Penghentian PLTU Captive
Menanggapi hal tersebut, Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa membeberkan upaya pengurangan emisi sangat mungkin dilakukan. Caranya dengan melakukan pensiun dini batu bara di tahun 2023 sebesar 8.6 GW.
"Untuk mencapai target emisi JETP di 2030 dan mengakomodasi 34% bauran energi terbarukan, total kapasitas PLTU yg harus dipensiunkan sebesar 8.6 GW," ujar Fabby kepada bakabar.com, Sabtu (17/6).
Selanjutnya, Fabby menjelaskan tentang dana yang diperlukan untuk mendukung kegiatan pensiun dini PLTU. Menurutnya, dibutuhkan sedikitnyaUSD3.8 - USD4.5 milyar berdasarkan perhitungan IESR.
"Biaya yang sebenarnya harus dihitung, tergantung usia dari PLTU dan nilainya," ujar Fabby.
Baca Juga: Pembatalan PLTU Batu Bara, IESR: Cara Hemat Biaya Pangkas Emisi Global
Fabby mengungkapkan upaya pengurangan emisi dari pembangkit berkapasitas 8.6 GW bisa dilakukan secara bertahap mulai tahun 2025 hingga 2030. Upaya itu harus direncanakan secara matang, sembari memberikan waktu untuk pengembangan pembangkit energi terbarukan.
"Paling tidak di 2025, ada 1 GW yang dipensiunkan di Jawa. Ini akan membantu PLN mengatasi kondisi over capacity-nya," ujarnya.
Selanjutnya jika penutupan PLTU batu bara kapasitas 8.6 GW berhasil dicapai, menurut hitung-hitungan IESR, setidaknya Indonesia akan memiliki bauran energi terbarukan (EBT) sebesar 34% di tahun 2030.
"Maka pada 2030, kapasitas energi terbarukan yang dibangun mencapai 45 GW. Kira 3-5 GW per tahun mulai 2024," pungkasnya.