bakabar.com, JAKARTA -Institute for Essential Services Reform (IESR) menyebut Gibran Rakabuming Raka terlalu banyak obral jargon saat menyebut Indonesia bakal menjadi raja energi hijau di dunia.
Direktur Eksekutif IESR, Fabby Tumiwa menilai sepanjang debat cawapres pertama, Gibran terlalu banyak memamerkan keberlanjutan program hilirisasi Presiden Joko Widodo.
"Kalau cawapres bilang seperti itu coba dibuktikan di dalam visi-misi dan program gitu loh. Jadi mohon maaf ya kalau saya bilang, paslon 02 itu kebanyakan jargon," katanya kepada bakabar.com, Kamis (28/12).
Baca Juga: Omong Kosong Gibran soal Indonesia Jadi Raja Energi Hijau
Fabby menuding pengembangan energi baru terbarukan (EBT) di era Jokowi sama sekali tidak berhasil. Bahkan kalah dengan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang dianggap lebih bagus.
"Kalau di data kami IESR di era Jokowi selama 10 tahun itu selain bahan bakar nabati ya. Pemanfaatan energi terbarukan yang lain itu tidak tumbuh dengan maksimal kalah dengan di eranya SBY," ujarnya.
Meski begitu, Fabby mengakui pengembangan bahan bakar nabati di era Jokowi berkembang pesat. Kondisi tersebut juga didukung oleh subsidi pajak ekspor minyak sawit atau CPO.
Baca Juga: Cak Imin dan Mahfud MD Kompak Sentil soal IKN, Gibran Serang Balik!
Namun, konsekuensi di balik itu terjadi penggundulan hutan yang berakibat menaikan emisi gas rumah kaca.
Karena itu Fabby menyayangkan kondisi tersebut karena Jokowi tidak mencari alternatif lain dalam pengembangan EBT. Salah satunya dengan memanfaatkan potensi energi lain yang sudah disediakan oleh alam seperti energi surya, energi air, energi angin, dan lainnya.
"Implementasnya kan ga sampe sana, tahun ke tahun kan selalu Defisit. Jokowi walaupun dia bilang punya target Tapi kebijakan engga mengarah ke situ," paparnya.
Inkonsistensi Kepemimpinan
Fabby menilai sederet persoalan tidak maksimalnya penggunaan EBT dikarenakan burukunya kepemimpinan Jokowi. Kebijakan yang lahir dinilainya sering inkonsistensi saat dilakukan implementasi.
Jokowi terlihat mulai memperhatikan EBT pada periode keduanya sebagai presiden. Sebelumnya, Jokowi lebih sering mendukung pengembangan energi fosil seperti batu bara.
"Dari awal sampai dengan dua tahun yang lalu lah sangat pro batu bara. Baru baru saja belakangan-belakangan ini tuh memutuskan untuk melakukan transisi energi," ujarnya.
Baca Juga: IESR Bongkar Penyebab Rendahnya Penetrasi PLTS Atap
Di sisi lain perbedaan implementasi dengan kebijakan berimbas pada ketimpangan harga listrik dari EBT dan listrik dari batubara.
Hal itu terlihat dari subsidi besar-besar energi fosil seperti BBM dan LPG. Di sisi lain EBT tidak mendapat perlakuan serupa.
“Harga batubara disubsidi dengan dengan harga Domestic Pricing Obligation (DPO) dengan harga USD70 per ton. Itu kan tanda kutip disubsidi menggunakan harga pasar," katanya.
Lemahnya implementasi kebijakan itu juga terlihat dalam penerapan aturan PLTS atap Permen no 26 tahun 2021 yang dikeluarkan oleh Kementerian ESDM. Kebijakan tersebut berbuah kendala dengan penolakan yang dilakukan oleh PLN.
"Ini kan (terlihat) ada persoalan leadership di situ kalau menurut saya,” pungkasnya.
Baca Juga: Prabowo-Gibran Kokoh di Atas, Anies-Muhaimin Geser Ganjar-Mahfud
Sebelumnya, Gibran meramalkan Indonesia akan menjadi raja energi hijau dunia. Hal tersebut dapat dilakukan dengan cara mengembangkan bio diesel, bio avtur, dan bio etanol.
“Untuk menuju Indonesia Emas dibutuhkan generasi emas,” ujarnya.