bakabar.com, JAKARTA - Data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) tahun 2020, total neraca sumber daya bijih nikel Indonesia mencapai 11.88 miliar ton dan cadangan nikel 90% tersebar di Pulau Sulawesi, khususnya Sulawesi Tengah, Selatan, Tenggara dan Maluku Utara.
Di Morowali Utara, Sulawesi Tengah terdapat kawasan industri PT. Virtue Dragon Nickel Industri (VDNI), PT.Gunbuster Nickel Industri (GNI) dengan luas 1.907 hektar dan PT. Central Omega Resources (COR).
GNI dan COR merupakan 2 smelter pemurnian nikel milik Jiangsu Delong Nickel Industry Co.Ltd investor asal China yang beroperasi di Desa Bunta, Kecamatan Petasia Timur, Kabupaten Morowali Utara. Dua smeter tersebut diresmikan Presiden RI Joko Widodo pada 27 Desember 2021 di Kabupaten Konawe, Sulawesi Tenggara.
Sebagai sumber penggerak smelter, GNI membangun Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Captive batu bara di lahan seluas 712,80 hektar. PT GNI juga membendung sungai Lampi tanpa sepengetahuan warga dan pemilik lahan. Akibatnya, udara di 5 dusun Desa Bunta disinyalir diselimuti gas sulfur dioksida. Gas tersebut merupakan emisi beracun hasil pembakaran batu bara PLTU Captive.
Baca Juga: Jokowi Izinkan Pasir Laut Diekspor, WALHI: Balik ke Zaman yang Hancur
Kondisi itu mengakibatkan warga mengalami kerugian. Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Sulawesi Tengah Sunardi Katili menyerukan penghentian operasi PLTU Captive berbahan batu bara di seluruh kawasan industri nikel di Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan dan Sulawesi Tenggara.
Selain itu, Walhi Sulteng menuntut pemulihan kondisi kerusakan lingkungan yang terjadi di sekitar kawasan industri nikel di Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan dan Sulawesi Tenggara.
"Kami juga serukan, segera berikan ganti rugi bagi petani, nelayan dan rakyat yang bermukim di sekitar kawasan industri nikel di Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan dan Sulawesi Tenggara," ujar Sunardi dalam diskusi Operasi PLTU Captive Merusak Ekologi dan Kehidupan Rakyat Äi Pulau Sulawesi secara virtual, Senin (12/6).
Baca Juga: KTT ASEAN 2023, WALHI Ingatkan Pemerintah untuk Perjuangkan Isu Ekologi
Sunardi membeberkan, di tahun ini, diduga PT GNI telah merampas lahan warga Desa Tanauge seluas 65 hektar untuk perluasan pembangunan jetty. PT GNI telah merampas tanpa proses kompensasi ganti rugi terhadap lahan warga Desa Tanauge yang berdekatan dengan aktivitas PT GNI.
Akibat perluasan jetty, nelayan sebagai profesi mayoritas di desa tersebut harus menanggung dampaknya. Masifnya mobilisasi kapal tongkang bermuatan batu bara mengakibatkan nelayan berhenti menangkap ikan di tengah kondisi air laut yang tercemar tumpuhan batu bara.
"Ditambah lagi penjagaan ketat Polisi Air Udara jadi momok menakutkan bagi para nelayan," ungkap Sunardi.
Baca Juga: Usai Menteri, Giliran Walhi Soroti Bopengnya Pantai Bunati Tanah Bumbu
Saat ini, PT GNI telah membangun 3 unit PLTU Captive batu bara yang berlokasi di Desa Tanauge dengan kapasitas 300 MW. PLTU itu hanya berjarak kurang lebih 500 meter dari permukiman warga.
Akibatnya warga harus menutup pintu dan jendela rumahnya agar terhindar dari debu pembakaran batu bara milik PT.GNI. Setiap hari warga juga harus membersihkan rumahnya karena debu telah masuk ke dalam rumah.
"Itu jelas sangat menganggu kesehatan warga sekitar," pungkasnya.