bakabar.com, MAGELANG - Kerlip lampu kota belum meredup, suara musik dangdut masih terdengar sayup-sayup, padahal deretan pertokoan pecinan mulai tutup.
Kota Sejuta Bunga ini selalu terang benderang, meski malam mulai datang, pusatnya selalu ramai para pedagang, pun juga pengunjung yang berlalu-lalang.
Tak banyak yang tahu, pusat atau titik 0 berada di Tugu Aniem, saksi bisu masuknya listrik di Kota Magelang.
Baca Juga: Selisik MOSVIA, Sekolah Pendidikan Pangeh Praja di Magelang
Listrik, salah satu kebutuhan yang di jaman ini menjadi kebutuhan primer yang tak lepas dari kehidupan masyarakat. Ibarat pepatah, seolah kini kebutuhan wajib manusia adalah Sandang-Pangan-Cascasan.
Terutama bagi kawula muda yang kesana kemari membawa charger, tentu listrik menjadi hal wajib yang menjadi bagian penting dalam kehidupan.
Menyoal listrik, Tugu Aniem adalah pioner masuknya listrik di Kota Magelang pada 1924.
Mengenal Nederlandsche Indische Electriciteit Maatschappij (NIEM)
Pegiat Komunitas Kota Toewa Magelang, Bagus Priyono menerangkan pada masa pemerintahan Hindia Belanda, pengelolaan listrik didominasi oleh perusahaan swasta.
Namun hingga periode 1890-1900-an perkembangan ekonomi dan keperluan listrik terus meningkat. Hal itu membuat perusahaan swasta tidak mampu mengelola sendiri.
Oleh karena itu, lanjut dia, untuk memenuhi kebutuhan listrik di Magelang, pasokan dibagi dengan perusahaan.
Baca Juga: Menyusuri Jejak Hoogere Kweekschool, Cikal Bakal Pendidikan Guru di Magelang
Sebelum adanya organisasi yang mengatur urusan kelistrikan secara terpusat seperti PLN, pengelolaan listrik di Hindia Belanda dulu masih dikelola secara lokal dan dikuasai secara mandiri oleh perusahaan-perusahaan swasta Belanda.
Namun, seiring dengan pesatnya pertumbuhan ekonomi dan keperluan akan listrik khalayak luas, maka dibuatlah perusahaan listrik untuk memenuhi kebutuhan tersebut.
"Perusahaan listrik pertama yang mengurusi kebutuhan warga di Hindia Belanda yakni Nederlandsche Indische Electriciteit Maatschappij (NIEM) pada 1897, pusatnya di Gambir Batavia," ujarnya kepada bakabar.com, Rabu (2/5).
Sebagai informasi, perusahaan NIEM sebenarnya merupakan anak perusahaan dibawah NV Handelsvennootschap (dulunya bernama Maintz & co). Sementara itu, Maintz and co berkedudukan di Amsterdam dan masuk pertama ke Surabaya pada akhir abad ke-19.
Menurut Bagus, NIEM lantas berekspansi menjadi Nederlansche Indische Gas Maastchappij (NIGM) pada 1909.
"Kemudian, pada 26 April 1909, NIGM mendirikan anak perusahaan lain dengan nama Algemeene Nederlandsche Indische Electriciteit Maatschappij atau (ANIEM)," lanjutnya.
Baca Juga: Jejak Langgar Merdeka, Pernah Jadi Toko Ganja Hingga di Bom Belanda
Dalam waktu sepuluh tahun ANIEM terus berkarya dan bertransformasi. Perkembangannya pesat, semula hanya sekadar anak perusahaan menjadi raksasa dengan penguasaan 40 persen dari total pasokan listrik se-Hindia Belanda.
Sedangkan puncak kejayaan ekspansi ANIEM terjadi pada 1937 ketika seluruh pengelolaan listrik di Jawa Tengah, Jawa Timur dan Pulau Kalimantan diserahkan kepada ANIEM.
Magelang dan ANIEM
"ANIEM pertama kali membuka jaringan listriknya di Magelang pada 1924," tutur Bagus.
Kepada bakabar.com, Bagus menceritakan, Kantor NV ANIEM di Magelang dulunya terletak di Bayemanweg atau sekarang Jalan Tentara Pelajar.
Cara kerja listrik ANIEM di Magelang
"NV ANIEM atau umum disebut dengan ANIEM memanfaatkan air sungai Tuntang Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) Jelok yang berada di sebelah timur Ambarawa sebagai sumber utama pasokan listriknya," paparnya.
Untuk diketahui PLTA di Tuntang juga berjasa menerangi wilayah Semarang, Magelang, Salatiga, Ambarawa, Boyolali, dan sekitarnya.
Ia menuturkan, cara kerja PLTA menggunakan tenaga listrik hasil pemutaran turbin dari Sungai Tuntang yang bersumber dari Rawapening.
"Tenaga PLTA tersebut menghasilkan daya listrik rata-rata 30kV dan disebarkan melalui jaringan transmisi saluran tegangan tinggi (SUTET) yang berakhir di gardu induk Kebonpolo," ujarnya.
Baca Juga: Menyusuri Jejak Sejarah GPIB Beth El Magelang Usianya Lebih dari 2 Abad
Selanjutnya, sambung Bagus, dari gardu induk tersebut, listrik disalurkan melalui gardu-gardu transformator (transformatorhuis) yang masih dapat ditemukan di sudut kota Magelang.
"Tegangan untuk pelanggan ANIEM pertama kali dulu dapatkan hanya 60 watt sehingga cuma mampu untuk menyalakan satu bohlam lampu," kata Bagus kepada bakabar.com.
Tak hanya itu, Bagus menceritakan, listrik pada awal distribusi ANIEM masih belum stabil.
Lika-liku distribusi listrik
Drama pasang surut distribusi listrik ANIEM masih terus terjadi mengingat sumber utama listrik NV ANIEM berasal dari PLTA Jelok sangat bergantung pada debit air di Rawapening.
"Maka jika terjadi kemarau panjang para pelanggan ANIEM harus merasakan 'byar-pet' (listrik mati hidup)," ujarnya.
Bahkan, menurut Bagus, masyarakat harus rela bergantian menikmati fasilitas listrik. Meskipun demikian, pelanggan dari NV ANIEM terus meningkat baik dari rumah tangga maupun industri.
Baca Juga: Gedung Eks Rumah Dinas Residen Kedu, Saksi Bisu Penangkapan Diponegoro
"Guna memberikan pelayanan prima, saat awal pecah perang dunia ke dua, ANIEM juga pernah menurunkan tarif dasar listrik mereka sebesar 5% untuk meringankan beban pelanggan," imbuhnya.
Cerita tutur tentang ANIEM
Bagus menuturkan, menurut cerita yang berkembang di masyarakat, pengelola NV ANIEM memutuskan untuk membuat tugu peringatan di depan pintu masuk klenteng setelah mereka membaca buku Fengshui China.
"Dikatakan demikian lantaran belum ada bukti sejarah atau catatan yang menunjukkan hal tersebut," tuturnya.
Baca Juga: Seulas Cerita Water Toren, dari Wabah Hingga Jadi Sumber Air Kota Magelang
Sebagaimana yang diketahui, warga etnis Tionghoa sangat percaya pada hal-hal semcam tata letak lokasi terhadap keberuntungan dan rejeki dalam hidup mereka.
Oleh karenanya, tugu ANIEM ini dibangun di titik 0 depan klenteng dengan tujuan untuk menutup pintu rejeki para warga etnis Tionghoa yang mulai banyak berkembang di wilayah pecinan.