bakabar.com, JAKARTA - Centre of Economics and Law Studies (CELIOS) mendorong agar pemerintah selanjutkan segera memulai melakukan transisi ekonomi hijau. Hal tersebut dinilai dapat berpotensi meningkatkan pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) hingga mencapai 14,3%.
Direktur Eksekutif CELIOS, Bhima Yudhistira Adhinegara menyoroti ketergantungan Indonesia pada bisnis ekstraktif (business as usual). Terlebih, saat ini bisnis ekstraktif sudah mulai merambah kepada komoditas tambang yang sudah mulai kritis seperti nikel, bauksit, dan kobalt.
Kondisi tersebut yang menurutnya selama ini struktur perekonomian Indonesia tidak lepas dari bisnis ekstraktif.
“Satu sektor ekstraktif itu punya dampak volatilitas pertumbuhan ekonomi. Ganjar mau dikejar 7 persen. Anies optimis pertumbuhan ekonomi. Prabowo mengejar Indonesia emas. Tinggi saja tidak cukup kalau kualitas pertumbuhan ekonomi tidak dilakukan,” terangnya melalui siaran daring, Selasa (19/12).
Baca Juga: Langkah Membumi Festival Perkuat Misi Ekonomi Hijau
Bhima menerangkan ekonomi hijau mendesak untuk dilakukan karena pertumbuhan ekonomi di sektor ekonomi ekstraktif berisiko terjadi fluktuasi.
Selain risiko fluktuasi ekonomi, risiko lingkungan yang tinggi juga akan turut menambah beban biaya kesehatan yang terus meningkat dalam jangka panjang.
Terlebih, Indonesia yang berambisi dalam mencapai pendapatan per kapita yang setara dengan negara maju. Karena itu, diperlukan dengan komitmen mencapai nol emisi karbon pada 2050.
“Kontribusi dari sektor pertambangan dan penggalian terhadap perekonomian relatif kecil secara nasional,” terangnya.
Baca Juga: Tumbang saat Pandemi, Bappenas Dorong Bali Beralih ke Ekonomi Hijau dan Biru
Bhima menerangkan diperlukan skenario asumsi model input-output yang digunakan untuk melihat dampak bergandai pada investasi langsung dan pembiayaan terdahap output ekonomi nasional, PDB, pendapatan pajak, lapangan kerja, hingga ketimpangan antarwilayah.
Hasilnya, kemudian ditemukan business as usual dari ekonomi kreatif memberikan kontribusi Rp1.843 dari PDB.
Sedangkan ekonomi hijau memberikan kontribusi sebesar Rp2.943 triliun atau sebesar 14,3% kontribusi terhadap PDB tahun 2024, dengan asumsi PDB sebesar Rp20.567 triliun.
Adapun sederet sektor yang paling terdongkrak dari ekonomi ekstraktif ke ekonomi hijau di antaranya seperti sektor pertanian, kehutanan, dan perikanan yang sebelumnya Rp49 triliun menjadi Rp171,6 triliun.
Baca Juga: Dukung Ekonomi Hijau dengan Gaya Hidup Ramah Lingkungan
Kemudian industri pengolahan dari Rp191,7 triliun menjadi Rp506,1 triliun, pengadaan listrik dan gas dari Rp30,3 triliun menjadi Rp374,6 triliun, konstruksi Rp33,4 triliun menjadi Rp532,2 triliun.
Lonjakan pertumbuhan ekonomi hijau di sektor konstruksi akan terjadi bila diiringi dengan percepatan langkah pemensiunan dini PLTU batu bara. Di sisi lain akan menggenjot pembangunan infrastruktur energi baru terbarukan.
“Menjawab pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan berkualitas mau tidak mau harus transisi ke ekonomi hijau,” pungkasnya.