bakabar.com, JAKARTA – Tim Advokasi Solidaritas untuk Masyarakat Adat menemukan fakta penganiayaan kepada 20 orang warga yang ditangkap kepolisian seusai penembakan di Desa Bangkal, Seruyan, Kalimantan Tengah.
Tindakan kekerasan itu dimaksudkan membuat masyarakat mengakui segala hal yang diinginkan oleh kepolisian, terutama membawa senjata ketika aksi.
“Ada warga yang dipukuli dengan gagang atau popor senjata sebanyak empat kali, dijepret dengan karet ketapel dan ditampar oleh aparat. Selain kekerasan fisik, tim juga menemukan kekerasan verbal,” papar Divisi Advokasi Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia Arif Maulana, Minggu (15/10).
Segala praktik kekerasan tersebut telah melanggar International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) dan Undang-Undang Hak Asasi Manusia.
“Ini adalah bagian dari kejahatan kemanusiaan juga kalau ternyata ini bagian dari tindakan sistematis yang dilakukan aparat,” tambah Arif.
Kejahatan lain yang ditemukan adalah praktik unfair trial atau upaya paksa secara sewenang-wenang dalam bentuk praktik penangkapan, penahanan, penyitaan.
Tim advokasi juga mendapat banyak laporan kehilangan barang dari warga Bangkal yang menjadi peserta aksi.
“Barang-barang warga yang hilang mulai dari HP, uang, dan harta benda lain di mobil-mobil warga yang diparkir dan digeledah oleh aparat kepolisian,” ungkapnya.
Menurut Arif, berdasarkan UU Nomor 8 Tahun 1981, setiap upaya paksa harus disertai surat perintah penggeledahan yang sah dari pihak kepolisian.
Jika memang penggeledahan harus dilakukan, lanjut dia, harus tetap ada izin dari pengadilan. Namun, hingga kini tim advokasi warga tetap tidak menerima surat penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penetapan tersangka.
“Sudah jelas ada unfair trial. Ada upaya paksa yang sewenang-wenang yang dilakukan kepolisian. Ini penegakkan hukum yang bisa dikatakan ilegal,” jelasnya.
Praktik pelanggaran hak warga juga terjadi ketika 20 orang yang diproses tersebut tidak boleh menerima bantuan hukum. Hal inilah yang kemudian disebut tim advokasi dianggap sebagai upaya kriminalisasi.
“Ini bukan pola baru. Ini adalah pola yang terus terjadi dalam kasus konflik agrarian,” tegas Arif.
Pelanggaran lain yang berhasil diungkap adalah pelarangan penyampaian pendapat secara damai. Padahal hak berkumpul dan menyampaikan pendapat secara damai telah dijamin konstitusi.
"Fakta yang kami temukan adalah warga bukan dilindungi dan dikawal, tapi malah justru dilanggar oleh aparat kepolisian,” pungkas Arif.