Peneliti IPCC

Terkini, Peneliti Indonesia Gabung IPCC Dorong Percepatan Aksi Iklim

Komposisi ilmuan dunia yang tergabung dalam Intergovernmental Panel Climate Change (IPCC), dua diantaranya berasal dari Indonesia.

Featured-Image
Prof Edvin Aldrian (kelima dari kiri atas) dan Dr. Joni Jupesta (keempat dari kanan atas) saat berfoto. Foto: Prof Edvin Aldrian

bakabar.com, JAKARTA – Komposisi ilmuan dunia yang tergabung dalam Intergovernmental Panel Climate Change (IPCC) atau Panel Antarpemerintah untuk Perubahan Iklim, dua diantaranya berasal dari Indonesia.

Mereka terpilih pada assessment report ke-7 IPCC untuk melengkapi 32 ilmuan lainnya yang akan berkontribusi pada perubahan iklim dengan mendorong negara-negara di dunia untuk mengambil aksi iklim yang lebih cepat dan konkret.

Dua ilmuan asal Indonesia itu dipilih berdasarkan pemungutan suara dari negara anggota IPCC yang dilakukan di Nairobi, pada 25 hingga 28 Juli 2023.

Ilmuan tersebut adalah Prof. Edvin Aldrian yang terpilih kembali menjadi Vice Chair Working Group I dan Joni Jupesta yang menjadi anggota The Task Force on National Greenhouse Gas Inventories (TFI). 

Baca Juga: Dampak Perubahan Iklim, Menkeu: Rugikan Negara Triliunan Rupiah

Sejak 2015, Edvin dipercaya oleh anggota IPCC menempati posisi yang sama. Begitupun kali ini, ia menduduki second round di posisi serupa. Menurutnya, untuk menjadi Vice Chair Working Group I cukup menantang karena dirinya harus bersaing dengan ilmuwan dari Australia, Selandia Baru, dan Malaysia.

“Voting di IPCC berlaku regional, karena saya berasal dari Indonesia, maka voters saya berasal dari regional 5 yaitu Asia Tenggara, Pasifik Barat Daya, dan ASEAN." ujarnya dalam keterangan tertulis di Jakarta, Kamis (3/8).

Edvin dibantu negara kepulauan seperti Tonga, negara-negara muslim seperti Bangladesh, Bahrain, Turki, dan juga Amerika Latin. Pemungutan suara biasa dilakukan dua kali.

"Namun karena dalam putaran pertama saya sudah mencapai voting di atas 50%, maka pemungutan suara hanya dilakukan sekali. Totalnya, 74 dari 104 perwakilan negara memilih saya, sehingga saya diklaim sebagai pemenang,” terangnya.

Baca Juga: Biaya Perubahan Iklim, Menkeu: Tidak Berasal dari APBN Saja

Edvin mengungkapkan dirinya kembali berkiprah di IPCC karena memiliki visi dan misi untuk melanjutkan kembali penelitian yang dibuatnya. Sebelumnya, ia telah menyiapkan suatu proyeksi dan pemodelan di wilayah Asia Tenggara yang bekerja sama dengan peneliti dari Filipina, Malaysia, Thailand dan Vietnam.

Hasil penelitiannya sudah bisa diakses di situs IPCC dan dimanfaatkan oleh negara -negara di dunia untuk menjadi dasar kebijakan terkait perubahan iklim.

Dalam penugasan ke depan Edvin akan melakukan penelitian untuk assessment report ke-7 yang akan berfokus pada tiga polar di dunia, yakni polar pertama di kutub es, polar kedua di daratan, dan polar ketiga di Himalaya.

“Saya menilai bahwa apa yang terjadi di Himalaya adalah penting terkait dengan perubahan iklim. Apa yang terjadi di Himalaya berdampak pada negara-negara di sekitarnya, seperti Pakistan, India, Sri Lanka, Bangladesh, dan sebagian negara di Asia Tenggara,” jelasnya.

Baca Juga: Perubahan Iklim, Menkeu: RI Akan Hadapi Implikasi Tidak Mudah

Ia juga akan melakukan penelitian di bidang urban climate yang berkaitan dengan polusi udara yang berpengaruh pada kesehatan manusia. Dirinya berharap kebijakan mitigasi perubahan iklim harus lebih kuat. Ini karena berdasarkan kalkulasi IPCC, secara periodik dari tahun 2018, pencapaian kenaikan suhu 1.5 derajat diperkirakan bisa terjadi tahun 2052.

Tetapi ketika dilakukan proyeksi kembali tiga tahun kemudian atau di tahun 2021, perkiraannya semakin memburuk, yakni ditaksir kenaikan suhu 1.5 akan terjadi pada 2042. Bahkan, temuan terakhir pada tahun ini, kenaikan suhu 1.5 derajat justru akan dicapai tahun 2030.

Senada dengan Edvin, Dr. Joni Jupesta, ilmuwan, dosen dan peneliti aktif di The United Nations University (UNU) Tokyo, Jepang yang juga terpilih menjadi anggota TFI di IPCC, setuju bahwa mitigasi perubahan iklim harus dilakukan secara agresif. Ke depannya, gugus tugas itu akan melakukan harmonisasi data antarnegara.

“Karena situasi sekarang semakin berat, IPCC nanti akan membuat metodologi yang dapat digunakan negara-negara dalam melakukan perhitungan gas rumah kaca dan melakukan tabulasi statistik serta pengumpulan data,” jelas Joni.

Baca Juga: Gunakan Energi Terbarukan, METI: Berkontribusi Atasi Perubahan Iklim

Dengan demikian, akan tercipta harmonisasi data antarnegara berkembang, negara maju, seperti Indonesia, Brazil, Rusia dan China

Terpilihnya ilmuwan Indonesia di IPCC tidak terlepas dari dukungan dari negara-negara Asia Pasifik Barat, yaitu negara-negara small islands, seperti Kepulauan Samoa, Fiji, Tuvalu, Solomon, Tonga. Mereka adalah negara yang sangat rentan terdampak iklim, sehingga kepentingan negara-negara tersebut dalam berbagai komitmen internasional seperti COP perlu diakomodir.

Terkait penyelenggaraan KTT iklim COP 28 di Dubai tahun ini, Joni berharap terdapat komitmen dari negara maju dalam melakukan pendanaan terhadap kerusakan (lost) dan kehancuran (damage). Ini sebagai tindak lanjut dari COP 27 di Mesir tahun lalu untuk melindungi negara-negara rentan dari ancaman perubahan iklim.

“Komitmen pada COP tahun ini seharusnya bisa lebih ambisius lagi. Sekarang, seluruh Eropa dan negara-negara tertentu sedang mengalami gelombang panas, bahkan hingga 50 derajat Celcius," terangnya.

Baca Juga: Belajar Transisi Energi dan Perubahan Iklim, IESR Luncurkan akademi.transisienergi.id

Indonesia, kata Joni, harus bisa memastikan tidak ada kebakaran hutan pada Agustus hingga September tahun ini, sebelum memasuki musim hujan. Isu terkait pemanasan global semakin menguat, sehingga harus sama-sama mengawal agar suhu tidak semakin panas.

"Indonesia harus bisa memainkan peranan penting untuk turut serta menangani krisis iklim,” pungkasnya.

Editor
Komentar
Banner
Banner