bakabar.com, JAKARTA - Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani mengungkapkan kebutuhan biaya untuk menangani perubahan iklim (climate change) tidak berasal dari Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) semata. Peranan sektor swasta dan masyarakat menjadi sangat penting atau turut serta mengurangi emisi GRK.
"APBN mungkin kontribusinya bisa hanya sekitar 10 persen, no more than even 20 persen, bahkan mungkin hanya 10 persen, namun APBN bisa memberikan leverage melalui berbagai insentif,” ungkap Sri Mulyani dalam acara The 11th Indonesia EBTKE Conference and Exhibition 2023 'From Commitment to Action: Safeguarding Energy Transition Towards Indonesia Net Zero Emissions 2060' yang dipantau secara virtual, Jakarta, Rabu (12/7).
Upaya pemberian insentif dalam pembiayaan inovatif dilakukan dalam rangka menarik minat para investor dari private sector untuk membiayai proyek-proyek industri hijau di Indonesia. Dengan begitu, Indonesia bisa membangun, misalnya, pembangkit listrik yang berasal dari energi baru terbarukan (EBT).
Sejumlah instrumen yang diberikan pemerintah dalam rangka menangani perubahan iklim ialah tax holiday, tax allowance, lalu pembebasan Pajak Pertambahan Nilai (PPN), bea masuk, dan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB).
Baca Juga: Perubahan Iklim, Sri Mulyani: Upaya Indonesia Bukan Karena Latah
Adapun instrumen keuangan yang disediakan antara lain green bond, green sukuk bond, dan instrumen dalam bentuk institusi seperti special mission vehicle, yakni PT Indonesia Infrastructure Finance (IFF) dan PT Sarana Multi Infrastruktur (SMI) yang dimiliki Kementerian Keuangan.
Selain itu, terdapat pula Sustainable Development Goals (SDGs) Bond yang merupakan platform untuk bekerja sama dari sisi keuangan antar seluruh komponen yang berpotensi memberikan pembiayaan dari sisi perubahan iklim maupun Sustainable Development Goals (SDGs).
Platform SDGs Bond dapat melibatkan private sector, bilateral, dan multilateral. Sektor-sektor tersebut dapat berasal antara lain dari Swedish International Development Cooperation Agency (Sida), United States Agency for International Development (USAID), Australian Agency For International Development, Asian Development Bank, Asian Investment Bank, hingga World Bank.
“(Pembiayaan untuk mengatasi perubahan iklim juga dapat berasal) dari sisi private financing melalui issuance bond dan filantropi. Di global circle, kalau kita bicara tentang climate change, filantropi-filantropi besar seperti Jeff Bezos (Amazon), atau Bloomberg, atau Bill Gates, Rockefeller, mereka semuanya memainkan peran yang cukup signifikan sebagai katalis, sebagai event organizer, menyediakan platform, dan juga dari sisi financing,” kata Menkeu.
Baca Juga: Perubahan Iklim, Menkeu: RI Akan Hadapi Implikasi Tidak Mudah
Meninjau dari sisi kebijakan, pemerintah disebut akan terus mengembangkan regulasi dan instrumen untuk menjawab tantangan perubahan iklim. Di sisi legislasi, pemerintah dinyatakan telah memiliki instrumen seperti carbon tax yang dilakukan khusus untuk pembangkit listrik dan bahan baku batu bara, terutama untuk pembangkit listrik yang berbasis coal base.
Sri Mulyani turut menekankan bahwa Kementerian Keuangan selalu bekerja sama dengan kementerian/lembaga, seperti Kementerian Kemaritiman dan Investasi, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, hingga Otoritas Jasa Keuangan (OJK) untuk membangun bursa karbon dalam rangka menciptakan carbon market di Indonesia.
“Ini adalah upaya terus supaya Indonesia mampu menjawab tantangan zaman yang tidak sederhana, cenderung kompleks, dan tidak pure financial, tapi juga ada social, political, bahkan geopolitical. Sehingga, kita harus mampu terus menyiapkan Indonesia sebagai negara besar yang kita tentu disorot dari sisi bagaimana kita akan terus maju dan men-develop our economy, tapi at the same time commitment untuk menangani dan menghindari pemburukan climate change menjadi sangat penting,” ucap dia.