bakabar.com, JAKARTA – Toxic Masculinity adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan sejenis konsep budaya yang merujuk pada stereotip dan ekspektasi yang tidak sehat.
Melansir Very Well Mind, Toxic Masculinity tidak hanya berarti berperilaku seperti laki-laki. Sebaliknya, ini melibatkan tekanan yang sangat besar yang mungkin dialami oleh beberapa pria untuk bertindak dengan cara yang sebenarnya berbahaya.
"Istilah 'toxic masculinity' mengacu pada serangkaian kualitas yang diharapkan dari anak laki-laki dan laki-laki yang berbahaya atau membatasi dalam beberapa hal. Biasanya, apa yang dipikirkan orang adalah versi maskulinitas yang menyatakan bahwa laki-laki harus tangguh, kuat, agresif, terkendali, tabah secara emosional, heteroseksual kompulsif, dan harus menghindari segala sesuatu yang feminin," kata Michael Flood adalah peneliti di Queensland University of Technology di Australia dan telah meneliti laki-laki, maskulinitas, dan gender selama lebih dari 30 tahun, dikutip dari DW (20/9).
Menurut penelitian yang dilakukan Michael Flood, korban utama dari toxic masculinity adalah perempuan, namun tanpa disadari, pria itu sendiri menjadi korban dari toxic masculinity.
Konsep ini menyoroti bagaimana budaya dapat memaksa pria untuk mematuhi norma-norma tertentu yang dapat berdampak negatif pada diri mereka sendiri dan orang lain. Beberapa ciri yang sering dikaitkan dengan toxic masculinity termasuk:
1. Ketangguhan: Ini merujuk pada konsep bahwa laki-laki diharapkan untuk menunjukkan kekuatan fisik, menekan ekspresi emosional, dan bersikap agresif.
2. Antifeminitas: Ini melibatkan ide bahwa laki-laki harus menolak segala sesuatu yang dianggap feminin, seperti mengekspresikan emosi atau menerima bantuan.
3. Kekuasaan: Asumsi bahwa laki-laki harus berusaha mendapatkan kekuasaan dan status (baik sosial maupun finansial) agar mereka bisa mendapatkan penghormatan dari orang lain.
4. Agresi dan Kekerasan: Maskulinitas beracun dapat mempromosikan perilaku agresif atau kekerasan sebagai cara untuk menunjukkan dominasi atau kekuasaan.
5. Objektifikasi Perempuan: Pria yang terjebak dalam konsep maskulinitas beracun mungkin melihat perempuan sebagai objek seksual atau merendahkan mereka, bukan menghormati dan memperlakukan mereka sebagai individu yang setara.
6. Penekanan terhadap Seksualitas yang Tidak Sehat: Ini bisa mencakup tekanan untuk menjalani gaya hidup seksual yang berisiko atau tidak sehat sebagai tanda kejantanan.
7. Penghindaran Terhadap Pengungkapan Emosi: Pria mungkin merasa harus menekan atau menyembunyikan emosi mereka, yang dapat berdampak negatif pada kesejahteraan mental mereka.
Perilaku-perilaku ini, yang mungkin diinternalisasi oleh beberapa pria sebagai bagian dari identitas mereka, dapat memiliki dampak negatif pada kesejahteraan individu dan masyarakat secara keseluruhan.
"Menurut saya, laki-laki dan perempuan tidak berada pada posisi yang sama dalam kaitannya dengan peran gender dan relasi gender. Ada banyak cara agar laki-laki mempunyai lebih banyak kebebasan dibandingkan perempuan," ucap Flood.
"Namun, menurut saya tidak dapat dipungkiri bahwa laki-laki dan anak laki-laki juga menjadi korban dalam arti bahwa hidup kita juga dibatasi oleh model yang dominan atau tradisional, atau beracun, tentang bagaimana menjadi seorang laki-laki. Itu membatasi persahabatan kita, baik dengan laki-laki lain tetapi juga dengan perempuan. Itu membatasi hubungan kita. Hal ini menghambat kita untuk mencari bantuan, untuk mengakui rasa sakit, dan untuk mengembangkan hubungan dekat dengan anak-anak kita," imbuhnya.
Banyak upaya telah dilakukan untuk mengatasi dan memahami toxic masculinity, serta untuk mempromosikan gagasan bahwa menjadi pria tidak selalu harus mematuhi norma-norma yang merugikan ini.