bakabar.com, PARINGIN – Arsitek senior dari Ikatan Arsitek Indonesia (IAI) Kalimantan Selatan, Dr H Subhan Syarief memberikan ulasan terkait permasalahan yang ada pada Jembatan Paringin di Kabupaten Balangan.
Untuk kegiatan pembangunan infrastruktur antara lain seperti bangunan, jalan dan jembatan merupakan bagian dari kegiatan jasa konstruksi.
Sehingga terkait dengan permasalahan pembangunan atau renovasi Jembatan Paringin adalah juga termasuk dalam kegiatan jasa konstruksi.
“Dalam kegiatan jasa konstruksi ada regulasi berupa UU yang mengaturnya yaitu UU Nomor 2 tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi,” ungkap Subhan.
Subhan menjelaskan, berdasarkan UU tersebut telah diatur beberapa aspek penting.
“Pertama, dalam setiap kegiatan jasa konstruksi terdiri dari tahapan perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan,” jelas Subhan.
Sehingga tahapan yang dilakukan dalam kegiatan renovasi atau pembangunan Jembatan Paringin agar sesuai aturan pastilah terdiri dari kegiatan perencanaan yang dilaksanakan oleh Badan Usaha Jasa Konsultasi/Konsultan Perencana.
Kemudian, tahapan kegiatan pelaksanaan/pembangunan yang dilakukan oleh Badan Usaha Jasa Pelaksana/Kontraktor dan Pengawasan Pembangunan oleh Badan Usaha Jasa Pengawasan/Konsultan Pengawas atau Konsultan MK.
“Ketiga Badan Usaha ini berdasarkan UU Jasa Konstruksi wajib memiliki Sertifikat Badan Usaha (SBU),” sebut Subhan.
Selanjutnya, bahwa dalam kegiatan jasa konstruksi akan melibatkan minimal pihak penyedia jasa dan pengguna jasa.
Pihak penyedia jasa terdiri dari konsultan perencana, kontraktor pelaksana dan konsultan pengawas/MK. Sedangkan pihak pengguna jasa adalah bisa dari pihak owner atau pihak pemilik proyek.
“Pemerintah umumnya disebut pimpinan proyek, seperti Balai Jalan dan Jembatan pada proyek renovasi Jembatan Paringin,” pungkasnya
Para pihak ini (pengguna jasa dan penyedia jasa) ini akan terikat dalam satu perjanjian kontrak kerja. Dan kedua belah pihak memiliki tanggung jawab terkait dengan proses pelaksanaan kegiatan proyek tersebut.
Termasuk tanggung jawab bila terjadi kegagalan baik gagal secara administrasi maupun gagal konstruksi/bangunan.
Melihat kasus yang terjadi pada pembangunan/renovasi Jembatan Paringin yang bermasalah bahkan membahayakan pemakai jalan akibat tidak memenuhi syaratnya hasil pekerjaan.
“Pada dasarnya bila mengacu pada regulasi UU Jasa Konstruksi bisa dikatakan telah terjadi kegagalan bangunan,” bebernya
Karena jembatan tidak bisa menjalankan fungsinya sesuai standar yang dipersyaratkan.
Kondisi kegagalan bangunan ini terjadi bilamana ternyata pekerjaan tersebut sudah dilakukan serah terima kedua belah pihak, terakhir dari pihak penyedia jasa kepada pengguna jasa.
“Para pihak yang bertanggung jawab atas terjadinya kegagalan bangunan ataupun kegagalan konstruksi adalah bisa saja pihak penyedia jasa (Konsultan Perencana, Kontraktor Pelaksana ataupun Konsultan Pengawas) atau juga pihak pengguna jasa (pimpro, owner/pemilik proyek),” terangnya
Kemudian, untuk mengetahui siapa bertanggung jawab dan apa yang menjadi penyebabnya maka diperlukan telaah oleh tim penilai ahli yang dibentuk oleh menteri atau pejabat yang berwenang sesuai aturan UU Jasa Konstruksi.
“Adapun sanksinya ada dua, sanksi perdata (ganti rugi) dan sanksi administratif,” urainya.
Sanksi pidana juga akan dilakukan bila dampak dari kegagalan bangunan tersebut menyebabkan korban atau bilamana pihak yang bertanggung jawab tidak menjalankan sanksi ganti rugi yang mestinya wajib dilakukan.
“Untuk langkah perbaikan terhadap kegagalan bangunan ataupun kegagalan konstruksi adalah akan menjadi tanggung jawab pihak yang diputuskan bersalah oleh tim penilai ahli, termasuk rekomendasi perbaikan yang harus dilakukan oleh pihak yang dinyatakan bersalah tersebut,” jelasnya lagi.
Melihat dalam aspek kegagalan bangunan menurut UU jasa konstruksi adalah ketika terjadi keruntuhan bangunan dan/atau tidak berfungsi bangunan seperti yang direncanakan.
Kondisi ini terjadi setelah dilakukan serah terima kedua/terakhir oleh pihak pelaksana/kontraktor kepada pihak proyek.
“Artinya bila dilihat dari kasus Jembatan Paringin tersebut maka bisa saja telah masuk dalam kategori kegagalan bangunan dan akan menjadi tanggung jawab pihak penyedia jasa (terutama pihak kontraktor pelaksana),” ujarnya.
Lanjutnya, berkaitan dengan langkah pihak Balai Jalan dan Jembatan yang akan segera melakukan perbaikan memang terlihat bagus.
“Bila tak cermat dan tak melihat posisi kondisi kontrak kerjanya dan kemudian perbaikan dilaksanakan maka bisa saja terindikasi telah melanggar apa yang di tentukan oleh regulasi UU,” ujarnya.
Dan ini tentu bisa saja kedepannya akan memunculkan masalah bila ditinjau dari segi hukum.
Problem hukum yang bisa terjadi adalah antara lain bila ditinjau dari aspek apakah perbaikan tersebut rangkaian dari tanggung jawab pekerjaan renovasi terdahulu (kontrak terdahulu/awal) atau di luar kontrak pekerjaan terdahulu.
Kemudian, apakah biaya perbaikan yang dikeluarkan nantinya dari biaya negara atau masih menggunakan biaya kontrak awal dengan pihak pelaksana dahulu.
Selanjutnya, pihak siapa yang bertanggung jawab melakukan perbaikan atas kerusakan atau kegagalan konstruksi tersebut perlu juga diketahui atau ditentukan terlebih dahulu.
Jadi dalam hal ini, perlu ada transparansi l berbagai hal terkait kasus pelaksanaan dari kegiatan pembangunan/renovasi jembatan di Balangan tersebut, agar tak terjadi kegiatan yang ujungnya merugikan keuangan negara.
Serta merugikan kepentingan para pemakai jembatan tersebut atau bahkan bisa saja terjadi indikasi pelanggaran hukum terhadap proses pekerjaannya.