bakabar.com, JAKARTA – Pada rangkaian Pertemuan Musim Semi Dana Moneter Internasional dan Grup Bank Dunia (IMF-WBG Spring Meetings) 2023, di Washington-AS, pada sesi pembuka, Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyanimenyampaikan poin mengenai permasalahan global. Menurutnya, yang dihadapi saat ini adalah pelemahan ekonomi dan potensi tidak tercapainya target 1,5º Celcius pembatasan laju pemanasan global, antara tahun 2030-2035.
“Dalam menghadapi dua tantangan tersebut, kita harus menyadari bahwa iklim
dan pembangunan bagaikan dua sisi mata uang, apabila memisahkan keduanya maka hanya akan membatasi sumber daya dan menghambat upaya pencapaian target Perjanjian Paris,” papar Menkeu.
Pada Pertemuan Tingkat Menteri ke-9Koalisi Menteri Keuangan untuk Aksi Iklim (Coalition of Finance Ministers for Climate Action) itu menekankan tentang pentingnya memiliki strategi agar kenaikan suhu melebihi 1,5º Celcius tidak terjadi, sembari tetap menjaga momentum pembangunan ekonomi pasca pandemi, utamanya pada negara berpendapatan rendah dan berkembang.
Mempertimbangkan kondisi itu, Finlandia, Indonesia serta Sekretariat Koalisi memilih untuk membahas terkait panduan penguatan peran menteri keuangan dalam mendorong aksi perubahan iklim, serta transisi keuangan sebagai perluasan dari program transisi hijau.
Baca Juga: Bupati Meranti Gadai Aset Pemda, Kemenkeu Buka Suara
Menteri keuangan memiliki peran yang sangat krusial dalam mengatasi tantangan
perubahan iklim dengan menetapkan kebijakan dan mengambil keputusan yang membentuk lanskap ekonomi.
“Kebijakan yang diambil para menteri keuangan akan memiliki implikasi yang
signifikan dalam merespons perubahan iklim, termasuk bagaimana mengalokasikan sumber daya, berinvestasi dalam inovasi, maupun persiapan dalam menghadapi risiko yang terkait dengan perubahan iklim,“ jelas Menkeu.
Menkeu juga menyampaikan bahwa dalam masa Indonesia menjadi Chairman ASEAN 2023, telah diliris The ASEAN Taxonomy for Sustainable Finance (ATSF) Versi 2 pada bulan Maret 2023.
ATSF Versi 2 diharapkan bisa mengakomodasi kebutuhan asesmen yang lebih menyeluruh terkait 'bagaimana dan di mana' kontribusi program coal phasing out untuk ditempatkan sebagai upaya dekarbonisasi dalam mendukung Perjanjian Paris. Menurut Menkeu, dalam transisi keuangan, taksonomi saja tidak cukup.
Baca Juga: Target Inflasi 3 Persen, Sri Mulyani: Kemungkinan Tidak Tercapai
“Tentu saja, mempersiapkan lembaga dan peraturan yang interoperable seperti
pengungkapan yang andal dan pelaporan serta badan verifikasi yang diterima secara global, diperlukan untuk mengembangkan pembiayaan transisi yang berintegritas tinggi dan sangat kredibel,” tegas Menkeu.
Pada pertemuan di Washington, 15 April lalu itu telah dilaksanakan penyerahan jabatan Co-Chair oleh Finlandia kepada Belanda setelah masa jabatan Finlandia selama empat tahun.
Sedangkan Indonesia masih akan menjabat sebagai Co-Chair dari Koalisi Menteri Keuangan untuk Aksi Perubahan Iklim dengan perpanjangan jabatan selama satu tahun mulai April 2023 hingga 2024.
Pada sesi akhir, Sigrid Kaag sebagai Co-Chair baru menyampaikan bahwa dalam aksi perubahan iklim, khususnya pembiayaan transisi, sebuah negara memerlukan kapasitas fiskal yang memadai.
Baca Juga: Dampak Krisis Perbankan AS, Sri Mulyani: Masih Harus Diwaspadai
Oleh karena itu, untuk dapat melakukan berbagai manuver kebijakan, sumber
daya fiskal menjadi salah satu komponen utama. Contohnya, pemberian insentif terhadap sektor swasta maupun sektor publik, dapat menjadi opsi kebijakan untuk memuluskan proses transisi, khususnya pada negara berkembang.
"Selain itu, adanya regulasi juga penting untuk dapat mengatur dinamika dalam proses transisi tersebut ke arah yang diinginkan," tandas Menkeu.