bakabar.com, JAKARTA – Menteri Keuangan Sri Mulyani membeberkan alasan kenaikan cukai rokok buatan mesin lebih tinggi dibandingkan produksi tangan.
Setidaknya ada dua faktor yang dipertimbangkan pemerintah yaitu ketenagakerjaan dan petani tembakau.
Dalam hal ini, Sigaret Kretek Mesin (SKM) dan Sigaret Putih Mesin (SPM) produksinya menggunakan tenaga kerja lebih sedikit dibandingkan Sigaret Kretek Tangan (SKT).
“Konten tembakau lokalnya sangat kecil, sehingga pilihan kebijakannya tidak terlalu menekan karena aspek tenaga kerja dan petani tembakau tidak terlalu besar,” ujar Sri Mulyani dalam Rapat Kerja dengan Komisi XI DPR RI, Rabu (14/12).
Alasan lainnya, SPM dinilai lebih banyak menggunakan tembakau impor dibandingkan dua jenis rokok lainnya. Selain itu, SPM tidak memiliki kandungan cengkeh yang berasal dari petani lokal.
“SPM Ekspor (menggunakan) 74 persen adalah tembakau impor, hanya 26 persen menggunakan tembakau lokal,” katanya.
Sementara itu, SKT lebih banyak menggunakan tembakau lokal sebesar 80 hingga 98 persen yang berasal dari petani setempat.
“Jadi memang nyata aspek petani dan pekerja lebih besar utamanya untuk Sigaret Kretek Tangan (SKT),” jelasnya.
Sebelumnya, Kemenkeu menetapkan kenaikan rata-rata Cukai Hasil Tembakau (CHT) sebesar 12 persen pada 2022. Namun, kenaikan cukai rokok berbeda-beda tergantung jenis rokok yang dibuatnya.
Rokok dengan jenis SKM dan SPM mengalami kenaikan cukai tertinggi masing-masing sebesar 14,3 persen dan 14,4 persen. Angka ini lebih tinggi dibandingkan rata-rata kenaikan cukai.
Sementara itu, rokok dengan jenis SKT justru hanya mengalami kenaikan cukai dengan kisaran 2,5 persen hingga 4,5 persen.