Di Norwegia, Rae berpuasa jauh dari sanak saudara. Juga dengan teman seagama. Maka berpuasa sendirian yang ditempuh selama 18 jam di suhu minus 20 derajat celcius itu adalah pengalaman puasa terpahit yang pernah dialaminya. Namun imannya tetap membara, meski ketaatan dijalaninya dengan menggigil.
Nita, BANJARMASIN
RAMADAN adalah bulan yang dinantikan umat Islam di berbagai penjuru dunia. Tak terkecuali, bagi warga Indonesia yang sempat merasakan berpuasa di Norwegia, Rae Medina Anne Stevanya (20).
Baca Juga: Menengok Aktivitas Si Mahasiswi Cantik Avina Selama Ramadan di Switzerland
Rae -sapaannya- sempat merasakan pahitnya puasa di negeri orang karena harus menjalani pendidikan di Norwegia. Dia berada di negeri itu selama 3 bulan, yang di dalamnya terdapat bulan Ramadan.
"Saat itu dalam rangkastudent exchange and volunteeringdi Norwegia," ucap Rae saat dihubungibakabar.com.
Rae mengingat, di Norwegia adalah pengalaman pertamanya berpuasa di negeri yang penduduknya mayoritas non-muslim. Dan itu harus dijalaninya dengan perjuangan sengit.
"Ini pertama kalinya Ramadhan jauh dari kedua orang tua, apalagi saya satudorm(asrama) dengan teman-teman non-muslim jadi harus mandiri buat sahur dan berbuka," ujar Rae.
Kendala cuaca adalah salah satu ujian terberatnya. Dia harus menahan rasa lapar dan dinginnya suhu adara di waktu bersamaan.
"Karena waktu itu suhu mencapai minus 20 derajat celcius. Jadi memang sulit untuk beradaptasi," katanya.
Selain menahan lapar dan dahaga, sebagai relawan Rae juga dituntut beraktifitas banyak di siang hari. Padahal, puasa di sana dijalani dalam waktu 18 jam lamanya.
"Aktivitasnya cukup berat, seperti mengajar anak-anak dan membantu bersih-bersih panti asuhan. Tapi aku harus tetap puasa, meskipun cuacanya cukup ekstrem," jelasnya.
Selama di sana, wanita asal Tamiyang Layang ini mengaku rindu akan masakan Indonesia selama berada di Norwegia. Terutama menu-menu khas saat berbuka.
"Biasanya di Indonesia ada takjil seperti macam-macam kue dan makanan-makanan berat yang enak. Semuanya sulit ditemukan di sini. Jadi aku buka puasa seadanya, kadang cuma potongan buah atau langsung makan berat aja," ungkapnya.
Di Norwegia, lanjut Rae, tidak ada perlakuan khusus bagi umat Islam yang berpuasa layaknya sebagian daerah di Indonesia. Terlebih, di Norwegia, dia tinggal jauh dari pusat kota dan tak ada satu pun saudara seagama di dekatnya.
"Orang-orang disini menjalani keseharian mereka kayak biasa. Terus karena gak ada temen muslim, jadi untuk beribadah seperti tarawih atau Idul Fitri saya jalani sendiri didorm," terangnya.
"Sedih banget. Jadi ngga bisa mudik dan sungkeman sama orang tua," kenangnya.
Baca Juga: Riwayat Masjid Al Jihad (1), "Rebutan" Membangun Tempat Ibadah
Editor: Muhammad Bulkini