Polemik RUU EBET

RUU EBET, Aktivis: DPR Harus Hentikan Solusi Palsu Energi Baru

Campaigner 350 Indonesia Suriadi Darmoko mendesak para wakil rakyat mendengarkan suara masyarakat dalam membahas RUU EBET.

Featured-Image
Akhir Maret 2023, Panitia Kerja RUU EBET akan menggelar rapat maraton. Masyarakat berharap ada payung hukum terkait transisi energi yang memperkuat implementasi energi terbarukan. Foto: 350 Indonesia

bakabar.com, JAKARTA - Campaigner 350 Indonesia Suriadi Darmoko mendesak para wakil rakyat di DPR untuk serius mendengarkan suara-suara masyarakat dalam membahas Rancangan Undang Undang (RUU) Energi Baru dan Energi Terbarukan (EBET).

"Tanpa upaya serius dan mendengarkan suara-suara masyarakat, RUU EBET hanya akan menjadi payung hukum bagi masuknya solusi palsu dalam transisi energi," ujarnya.

Solusi palsu tersebut, menurut Darmoko, adalah dipertahankannya penggunaan energi fosil dengan label hijau. Energi fosil yang menyebabkan krisis iklim yang dipoles seolah-olah ramah lingkungan hidup.

"Bila solusi palsu itu diakomodasi dalam RUU EBET, mimpi Indonesia untuk melakukan transisi energi tidak akan jadi kenyataan," tegasnya.

Baca Juga: Dyah Roro Esti: RUU EBET untuk Kejar Target Indonesia Bebas Emisi

Ini penting disuarakan karena akhir Maret ini, kata Darmoko, Panitia Kerja RUU EBET akan menggelar rapat maraton untuk membahas RUU tersebut. Selama rapat dilakukan untuk memperkuat implementasi energi terbarukan, Darmoko berharap ada payung hukum terkait transisi energi di Indonesia.

"Namun jika payung hukumnya justru mengakomodasi energi fosil yang diberi label energi baru, itu sama saja dengan mematikan upaya implementasi energi terbarukan sejak dini," jelasnya.

Wacana energi baru, lanjut Darmoko, menjadi akal-akalan untuk mempertahankan penggunaan energi fosil ketika yang terjadi justru mengganjal pengembangan energi terbarukan. Karena itu, energi terbarukan tidak bisa dicampuradukkan dengan energi fosil.

Untuk itu, DPR RI harus mampu menangkal masuknya energi fosil dalam RUU tersebut. Saat ini UU terkait energi baru terbarukan menjadi penting karena hanya energi terbarukan yang belum memiliki payung hukum setingkat undang-undang.

Baca Juga: RUU EBET Bahas Energi Fosil, "350 Indonesia" Desak DPR Fokus Atur Energi Terbarukan 

"Ambisi untuk melakukan transisi ke energi terbarukan akan kita lihat bersama dari RUU ini. Urgensinya jelas, aksi iklim untuk mengurangi emisi dari sektor energi sebesar 358 MTon CO2e dengan usaha sendiri, atau 446 MTon CO2e dengan bantuan internasional juga meningkatkan bauran energi terbarukan sebesar 34 persen pada 2030," jelas Darmoko.

Jika RUU tersebut masih berkutat pada energi fosil, maka aksi iklim dan peningkatan bauran energi terbarukan akan terkubur. "Bukan hanya tidak tercapai tapi bahkan dukungan kebijakan untuk memperkuat implementasi energi terbarukan juga tidak ada”, ujarnya.

Darmoko menambahkan, "Dengan kata lain, DPR harus fokus ke persoalan energi terbarukan. Wacana energi baru perlu dikeluarkan dari RUU tersebut.”

Sementara itu, Undang-Undang Energi nomor 30 tahun 2007 mengamanatkan pengembangan dan pemanfaatan hasil penelitian tentang energi terbarukan dibiayai dari pendapatan negara yang berasal dari energi tak terbarukan.

Baca Juga: Pengamat: JETP Harusnya Jadi Karpet Merah untuk Energi Terbarukan

Beranjak dari ketentuan tersebut, kata Darmoko, DPR harus memasukkan klausul yang mengatur alokasi pendapatan negara yang dihasilkan dari energi fosil untuk digunakan mendanai energi terbarukan di Indonesia.

Karena itu, dalam sebulan ini, lanjut  Darmoko, publik akan melihat apakah wakil rakyat yang dipilih secara langsung akan serius membahas implementasi energi terbarukan dalam RUU sebagai bagian dari aksi iklim indonesia atau tidak.

“Jika dalam pembahasan RUU EBET ini, mereka masih memberikan ruang bagi solusi palsu maka publik akan mencatat bahwa DPR telah menjadi batu penghalang aksi iklim indonesia.” pungkasnya.

Editor
Komentar
Banner
Banner