bakabar.com, JAKARTA - Ada yang menarik dalam pidato kenegaraan Presiden Joko Widodo yang disampaikan pada Rapat Paripurna DPR 16 Agustus lalu. Secara lugas presiden menyebut perubahan iklim menjadi ancaman serius terhadap pembangunan dan ekonomi dunia termasuk Indonesia.
Hanya saja, ada yang luput ketika Rancangan APBN 2024 hanya mengangkat capaian pertumbuhan ekonomi dan tahun politik. Sementara terkait dengan komitmen dan upaya nyata dalam penanganan perubahan iklim yang berkeadilan tidak disinggung.
Direktur Eksekutif Yayasan PIKUL Torry Kuswardono menilai hal itu sebagai langkah mundur karana upaya untuk mewujudkan keadilan iklim tidak terwujud. "Rancangan APBN 2024 luput mengedepankan komitmen dan upaya nyata dalam penanganan perubahan iklim yang berkeadilan,” ujar Torry dalam keterangannya dikutip Senin (21/8).
Menurut dinamisator Koalisi Keadilan Iklim itu, tidak bisa dipungkiri bahwa lampiran pidato presiden telah memasukan ketahanan lingkungan dan perubahan iklim sebagai misi pembangunan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024. Hanya saja, hal itu masih bersifat sektoral dan memandang kegiatan ekonomi sebagai pertumbuhan semata.
Baca Juga: Gegara Perubahan Iklim, Beberapa Wilayah Indonesia Tenggelam
“Pertumbuhan ekonomi diperlakukan sebagai semata pertumbuhan. Pemerintah tidak memperhitungkan kerusakan lingkungan hidup dan dampak perubahan iklim sebagai faktor pengurang pertumbuhan ekonomi," terangnya.
Padahal pada kenyataannya, kerugian akibat kerusakan lingkungan hidup dan dampak perubahan iklim cukup besar, serta berdampak pada progres ketahanan dan kesejahteraan Masyarakat.
"Perubahan iklim hanya muncul beberapa kata dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024 dan di beberapa bab lampiran Pidato Presiden sebagai salah satu isu yang perlu mendapatkan perhatian," katanya
Namun ide-ide besar dalam lampiran pidato presiden belum menjawab persoalan mendasar terkait perwujudan keadilan iklim. Salah satunya manfaat bagi kelompok paling rentan di masyarakat, seperti petani dan nelayan, masyarakat adat dan komunitas lokal, penyandang disabilitas, anak-anak dan lansia, termasuk kaum miskin perkotaan.
Baca Juga: Polusi Udara Biang kerok Perubahan Iklim
Secara umum, kata Torry, pihaknya mengapresiasi arahan presiden soal transformasi ekonomi hijau. Pemanfaatan nilai ekonomi hayati dan investasi hijau memang harus didorong sepenuh tenaga. Namun fakta fakta di lapangan menunjukkan niatan tersebut dijalankan secara sebaliknya.
"Ekonomi hijau kerap disederhanakan sebagai perdagangan karbon, dengan penguasaan ekonomi masih berada pada kekuatan elite," tegasnya.
Senada, Direktur Eksekutif Yayasan Madani Berkelanjutan Nadia Hadad mengungkapkan, rakyat merupakan pihak yang paling berpotensi terkena dampak malah tetap terpinggirkan. Ditambah lagi, belum adanya kerangka pengaman yang harus diterapkan untuk memastikan mekanisme itu benar-benar akan menurunkan emisi.
"Akhirnya, ekonomi hijau hanya menjadi sebuah alat untuk menyejahterakan elite, tapi mengabaikan urusan emisi,” terangnya.
Baca Juga: Menteri Bappenas: Perubahan Iklim Sulitkan Sektor Perkonomian
Konsep pembangunan rendah karbon dan ekonomi hijau, kata Nadia, seharusnya dilandaskan pada kesadaran batas ekologis dan ketersediaan sumber daya alam yang tidak kekal.
Pertumbuhan yang hanya berdasarkan Produk Domestik Bruto (PDB) belum tentu menjamin bahwa rakyat sejahtera. Ekonomi hijau harus dibentuk dengan meletakkan daya tampung dan daya dukung alam sebagai dasar.
"Ekonomi akan tumbuh dengan baik jika berbentuk sirkular dan bukan linear, terdesentralisasi dan bukan desentralisasi, diversifikasi tanaman dan bukan monokultur,” papar Nadia.
Hal yang sama untuk urusan transisi energi. Spirit melakukan transisi energi tetap patut dihargai. Namun, ujar Nadia, kebijakan yang diambil masih berkutat pada aspek BBN (bahan bakar nabati) yang bahan bakunya didominasi kelapa sawit, yang tentu saja berisiko mendorong deforestasi.
Baca Juga: Akibat Perubahan Iklim, Permukaan Air Laut Meningkat Tiga Kali Lipat
Transisi energi juga semata berfokus pada narasi penjualan kendaraan listrik tanpa memandang sumber tenaga listrik. Padahal, persoalan mendasar transisi energi, yakni penutupan PLTU (Pembangkit Listrik Tenaga Uap) dan penghentian penambangan batu bara, masih sangat lambat implementasinya.
"Padahal, pembukaan lahan untuk BBN maupun penjualan kendaraan listrik dengan tetap mempertahankan PLTU sama sekali tak memecahkan persoalan. Kebijakan itu hanya seperti memindahkan luka dari satu bagian ke bagian lain,” ungkap Nadia.
Karena itu, Kepala Divisi Kampanye WALHI Puspa Dewi menilai, pidato presiden hanya membanggakan capaian pencapaian pertumbuhan ekonomi nasional melalui Proyek Strategis Nasional (PSN) dan program-program unggulan.
Padahal pencapaian-pencapaian itu menimbulkan pertanyaan tentang seberapa jauh PSN sejalan dengan agenda mitigasi dan adaptasi perubahan iklim.
Baca Juga: Di Tengah Krisis Iklim, WALHI: Ada Proyek Gelap Oligarki
"Selama ini, tidak ada evaluasi bagaimana PSN memiliki peta jalan spesifik tentang penurunan emisi dan bagaimana PSN menaikkan atau menurunkan kapasitas adaptasi wilayah, bahkan beberapa PSN justru menambah ancaman krisis iklim” tetas Dewi.
Karena itu, Dewi beranggapan, fakta terkait aksi mitigasi dan adaptasi perubahan iklim masih bersifat terpisah. Berbagai indikator pembangunan tidak memasukkan indikator penurunan emisi dan kemampuan adaptif.
Aksi mitigasi terutama di sektor energi dan FOLU (forest and other land use) juga belum memiliki skema dan menjamin transisi dan resiliensi berkeadilan. Terbukti dengan terjadinya trade-off bahkan pengorbanan lingkungan dan warga di berbagai tempat demi mencapai tujuan mitigasi, misalnya dalam hilirisasi nikel untuk mendukung elektrifikasi.
"Kerusakan lingkungan, konflik sosial, hingga bencana ekologis menjadi bagian inheren dari tindakan mitigasi dan adaptasi perubahan iklim saat ini,” tegas Dewi.
Baca Juga: Perdagangan Karbon, WALHI: Jawaban Krisis Iklim Sarat Masalah Etik
Sementara itu, Direktur Sustainable Governance – Strategic Focus KEMITRAAN Dewi Rizki menyampaikan, penanganan dampak perubahan iklim membutuhkan tata kelola yang menjamin terwujudnya pembangunan yang berkelanjutan.
Dalam konteks itu, ungkap Dewi, presiden perlu mencanangkan prinsip-prinsip tata kelola penanganan dampak perubahan yang transparan, akuntabel, berkeadilan dan menjangkau seluruh lapisan masyarakat, terutama kelompok rentan, yang selama ini belum tersentuh oleh pembangunan berkelanjutan.
Selain tata kelola, Dewi juga menyoroti masalah pendanaan perubahan iklim yang masih sangat jauh dari terpenuhi, mengingat sebagian besar wilayah terdampak adalah daerah-daerah yang tidak banyak menyumbang sumber daya alamnya namun secara masif terimbas dampak perubahan iklim, terutama di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil.
“Untuk mewujudkan keadilan iklim, kelompok rentan dan terpinggirkan di wilayah-wilayah yang terkena dampak perubahan iklim harus menjadi prioritas, mengingat mereka tidak memiliki kapasitas untuk menanggulangi permasalahan yang mereka hadapi secara mandiri,” pungkas Dewi Rizki.