bakabar.com, JAKARTA – Meningkatnya jumlah putusan Pemungutan Suara Ulang (PSU) Pilkada 2020 diharapkan menjadi bahan evaluasi Komisi Pemilihan Umum (KPU).
Sebab, banyaknya putusan PSU disebabkan terjadinya kecurangan atau ketidakprofesional penyelenggara Pilkada 2020.
Anggota Komisi II DPR, Guspardi Gaus menilai putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang memerintahkan sejumlah daerah menggelar PSU tersebut sebagai cerminan kinerja penyelenggara pemilu.
“Makin banyak jumlah perkara yang diakomodir tentu menandakan KPU belum bekerja secara proporsional dan profesional,” kata Guspardi, kutip Republika.
Menurutnya banyaknya keputusan KPU yang dianulir MK menjadi preseden buruk bagi KPU sebagai penyelenggara pemilu. Politikus Partai Amanat Nasional (PAN) ini meminta kepada KPU agar melaksanakan PSU dengan hati-hati.
Wakil Ketua Komisi II DPR, Luqman Hakim juga menilai banyaknya permohonan gugatan pilkada yang dikabulkan MK sehingga banyak terjadi PSU di sejumlah daerah menunjukkan MK memberi koreksi pada praktek kecurangan.
“Bahwa MK mampu memberi koreksi atas praktek kecurangan yang dilakukan pihak tertentu dalam pilkada,” kata Luqman kepada Republika.
Ia mengatakan, salah satu faktor yang membuat kecurangan gampang terjadi dalam pilkada yaitu apabila kekuasaan pemerintah lokal berpihak pada salah satu pasangan calon.
Politikus Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) ini menuturkan, evaluasi atas praktek netralitas penyelenggara negara di semua tingkatan penting dilakukan.
“Berbagai kekurangan yang ditemukan, akan menjadi bahan untuk menyempurnakan regulasi maupun kompetensi para penyelenggara Pilkada 2024 yang akan datang," ujarnya.
Dalam beberapa putusan, MK memerintahkan KPU untuk mengganti sejumlah 0anggota Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK) atau Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS). Beberapa putusan perkara lainnya, tidak ada perintah mengganti penyelenggara ad hoc itu.
“Untuk yang tidak diperintahkan mengganti, KPU setempat akan melakukan evaluasi, termasuk apakah jajaran ad hoc yang sebelumnya, masih memenuhi persyaratan atau tidak, juga apakah masih bersedia atau tidak, dan lain-lain,” tutur Komisioner KPU I Dewa Kade Wiarsa Raka Sandi.
Lembaga riset Konstitusi dan Demokrasi (Kode) Inisiatif mencatat, putusan MK yang memerintahkan PSU meningkat signifikan pada Pilkada 2020. MK memerintahkan PSU pada 16 permohonan dan penghitungan suara ulang pada satu permohonan.
“Naik signifikan dari 2018, 2017, dan bahkan dari 2015 ini bisa dikatakan putusan MK yang memerintahkan pemungutan suara ulang di 2020 bisa mencapai empat kali lipat,” ujar peneliti Kode Inisiatif Muhammad Ihsan Maulana, Selasa (23/2).
Signifikansi
Pakar hukum tata negara Bivitri Susanti meminta penyelenggara memastikan pengawasan pelaksanaan PSU. Selain KPU dan Bawaslu, masyarakat umum juga perlu ikut mengawasi PSU di sejumlah daerah.
“Supaya jangan sampai upaya MK untuk memberikan electoral justice ini dengan cara memberikan PSU dampaknya tetap bisa positif untuk pemilih. Bukan untuk orang-orang yang berkompetisi,” kata Bivitri.
Sementara, pakar hukum tata negara Universitas Andalas, Khairul Fahmi, mempertanyakan batasan MK menimbang signifikansi PSU terhadap hasil perolehan suara pasangan calon.
Ia menjelaskan, pada beberapa pertimbangan MK dalam penyelesaian sengketa hasil pilkada, signifikansi dikaitkan dengan terbukti atau tidaknya dalil permohonan. Jika terbukti, dalil permohonan tersebut dinilai apakah signifikan atau tidak memengaruhi hasil perolehan suara masing-masing paslon.
Khairul mencontohkan, ada beberapa kasus, MK menyatakan pelanggaran di sejumlah TPS memang terbukti, tetapi kemudian MK mempertimbangkan signifikansi PSU terhadap perolehan hasil akhir pilkada. Jika pun MK memerintahkan PSU di TPS-TPS tersebut dan seluruh suaranya dimenangkan pemohon, MK menilai hasil PSU tetap tidak akan mengubah hasil akhir pilkada.
“Di satu sisi sekali lagi ini bisa diterima, namun di sisi lain ini memang perlu ada kriteria-kriteria lebih jauh lagi untuk menentukan, mendefinisikan signifikansi ini di batas mana yang bisa di toleransi,” kata Khairul.