Megaproyek Food Estate

Proyek Food Estate Hanya Ciptakan Oligarki, Tak Selesaikan Krisis Pangan

Jadi proyek tersebut tidak benar-benar mengatasi masalah pangan di Indonesia

Featured-Image
Kondisi lokasi lahan food estate di Kabupaten Gunung Mas, Kalteng. (Foto : Walhi Kalteng)

bakabar.com, JAKARTA - Puluhan ribu hektar hutan dibabat untuk proyek Food Estate di Kalimantan. Saat ini, dua rencana lumbung pangan baru sedang berjalan di Kalimantan Tengah.

Food Estate yang pertama akan menggunakan lahan 31.719 hektar perkebunan singkong di Kabupaten Gunung Mas yang dijalankan oleh Kementerian Pertahanan.

Kedua, proyek lumbung pangan Kementerian Pertanian, untuk penanaman padi di lahan rawa seluas 165.000 hektar di Kabupaten Kapuas dan Pulang Pisau. 

Greenpeace Indonesia menilai proyek Food Estate di Kalimantan tak akan menyelesaikan masalah pangan, justru akan memperburuk krisis pangan di Indonesia.

Baca Juga: Senayan Tak Skeptis, Food Estate Kalteng Jadi Sarang Penyamun

Pembukaan lahan besar-besaran untuk proyek Food Estate, dipastikan memperburuk krisis iklim. Lantaran akan meningkatkan kebakaran gambut dan emisi karbon yang merusak iklim.

Ketika krisis iklim memburuk, kualitas pangan tak baik, ditandai dengan berkurangnya produktivitas. Greenpeace mencatat, sekitar sepertiga dari emisi gas rumah kaca global yang dihasilkan dari pertanian global, berasal dari penciptaan lahan pertanian baru.

"Food Estate ini semakin memburuk krisis pangan, karena kerusakan yang ditimbulkan pada keanekaragaman hayati dan iklim." ujar Ketua Tim Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia Arie Rompas saat dihubungi bakabar.com, Selasa (29/8) malam.

Baca Juga: Food is Dead Bukan Food Estate Kalteng

Greenpeace menilai, secara keseluruhan  proyek Food Estatecenderung
menguntungkan perusahaan agribisnis. Lantaran proyek tersebut menciptakan liberalisasi perdagangan pangan dan alokasi lahan dalam jumlah yang semakin besar, serta subsidi untuk pertanian industrial.

"Jadi proyek tersebut tidak benar-benar mengatasi masalah pangan di Indonesia," ujarnya

Selain itu, narasi krisis pangan digunakan pemerintah untuk membenarkan konversi lahan gambut, perampasan tanah, dan kerja sama militer dengan oligarki agribisnis untuk menciptakan dan memperluas Food Estate.

Baca Juga: Megaproyek Food Estate Kalteng Tak Punya Kajian Layak

Perencanaan proyek Food Estate pun dilakukan tanpa partisipasi publik. Proyek tersebut juga mengancam tanah adat, mata pencaharian masyarakat. Sekaligus mengurangi akses ke pangan hutan yang beragam dan sehat bagi masyarakat lokal.

"Oleh karena itu, pemerintah harus terlebih dahulu menghentikan dan kemudian secara transparan dan menyeluruh meninjau rencana tersebut," ujarnya.

Di sisi lain, Greenpeace telah memberikan rekomendasi agar Kementerian Pertahanan tidak memainkan peran utama dalam kebijakan pertanian.

"Selain itu, Keterlibatan militer dalam masalah pertanahan menimbulkan ketakutan bagi masyarakat," tutupnya.

Editor


Komentar
Banner
Banner