bakabar.com, JAKARTA - Manajer Program Energi Transformasi IESR Deon Arinaldo tidak menampik jika banyak masyarakat belum mengetahui secara detail skema Justice Energy Tranmision Partnership (JETP).
Menurut Deon, JETP merupakan mekanisme kerjasama dalam rangka melakukaan pendanaan iklim untuk mewujudkan transisi energi. Program JETP telah disepakati oleh pemimpin negara maju di Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G20 di Bali pada tahun 2022.
Melalui skema itu, diharapkan sejumlah negara maju akan memberikan dananya ke Indonesia. Untuk mewujudkan hal itu, Kementerian ESDM sudah membentuk JETP Secretary sebagai tindak lanjut perjanjian pendanaan iklim.
"Target utamanya ya untuk mengatasi iklim," jelas Deon dalam Diskusi daring bertajuk 'Transisi Energi JETP: Apa dan Bagaimana Dia Bekerja?' di Jakarta, Rabu (2/8).
Baca Juga: JETP Berjalan Lamban, IESR: Kerja Dimulai Pasca-Sekretariat Terbentuk
Deon mengungkapkan program JETP sebenarnya masih terbilang baru. Skema partnership itu, pertama kali diuji coba di Afrika Selatan pada tahun 2021. Di tahun 2022, skema serupa dilanjutkan untuk diimplementasikan di Indonesia, kemudian Vietnam.
"Dilanjut di Indonesia dan Vietnam 2022, dan kini sedang masuk ke negara-negara lain," paparnya.
Dalam merespons pendanaan iklim itu, lanjut Deon, Indonesia telah menyusun peta jalan (roadmap) terkait investasi dan perubahan kebijakan untuk mencapai tujuan transisi energi.
"Indonesia telah mencanangkan rencana investasi dan perubahan kebijakan untuk mengantisipasi perubahan iklim," terangnya.
Baca Juga: Dana JETP, ADPMET Usulkan Danai Pendidikan dalam Bidang EBT
Di luar itu, Indonesia juga memiliki target khusus di sekror kelistrikan, dimana net zero emission diharapkan bisa terwujud pada 2050 atau lebih cepat.
"Sasaran puncak emisinya ada di 2050. Tapi target dekat ada di angka 260 juta ton emisi dari best line 357 juta ton di 2030," kata Deon.
Untuk mendukung skema JETP, Deon menjelaskan jika kelompok International Partners Group (IPG) yang terdiri negara-negara anggota kelompok G7, Norwegia, dan Denmark untuk Indonesia telah bersepakat untuk mempublikasi pendanaan awal sebesar 20 milyar dolar AS (sekitar Rp300 triliun).
Baca Juga: Transisi Energi, KemenESDM Amankan Komitmen Pembiayaan JETP
"Yang mana 10 milyar dolar dari dana publik negara G7, dan sisanya dari institusi finansial yang swasta," papar Deon.
Karena itu, tugas Indonesia selanjutnya adalah menyusun rencana kerja yang terukur dan transparan. Dengan demikian, kata Deon, pendanaan tersebut dapat teralokasikan dengan jelas.
"Tidak hanya proyek transaksi aset pembangkit listrik tapi juga aspek pembangunan industri dan keadilan transisi energi," tutupnya.
Baca Juga: Dana JETP Harus Diberikan ke Masyarakat, Wujud Demokratisasi Energi
Lebih jauh, Deon mengingatkan program JETP untuk keadilan iklim jangan sampai didikte oleh negara-negara donor. Salah satunya terkait upaya pensiun dini batu bara.
Hal itu, kata Deon tidak mudah dan membutuhkan biaya yang besar. Sementara itu, pemberian hibah bukan berarti Indonesia diwajibkan mengikuti seluruh permintaan darin negara donor.
Untuk itu, program JETP harusnya dilihat sebagai investasi, bukan sebagai proyek. "Jangan Investasi yang mendikte kebijakan, tapi kebijakan yang mendikte investasi. Itu kan yang kita butuhkan," tegasnya.