bakabar.com, JAKARTA - Institute for Essential Services Reform (IESR) mengharapkan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Iklim Perserikatan Bangsa-Bangsa (Conference of the Parties, COP-28) dapat memperkuat komitmen semua negara, termasuk Indonesia, untuk memangkas emisi gas rumah kaca di 2030.
Sesuai hasil Global Stocktake, janji dan realisasi penurunan emisi masih jauh untuk mencapai target Paris Agreement. Untuk itu, pasca COP-28 semua negara perlu meninjau kembali Nationally Determined Contribution (NDC)-nya serta membuat target mitigasi krisis iklim yang lebih ambisius.
“Indonesia perlu menyampaikan target penurunan emisi yang lebih ambisius dan peningkatan resiliensi terhadap perubahan iklim dalam Second NDC (SNDC) yang rencananya akan disampaikan 2025. Agar selaras dengan target 1,5°C, tingkat emisi pada 2030 harus maksimal 850 juta ton untuk seluruh sektor," kata Direktur Eksekutif IESR, Fabby Tumiwa melalui keterangan resmi, Senin (4/12).
Baca Juga: IESR Bongkar Penyebab Rendahnya Penetrasi PLTS Atap
Adapun di sektor kelistrikan, transisi energi perlu ditandai dengan target 44 persen bauran energi baru terbarukan di 2030. Karena itu, diperlukan penambahan energi baru terbarukan. Termasuk mulai mengakhiri operasi PLTU sebesar 8 sampai 9 GW sebelum 2030 untuk menurunkan emisi level tersebut.
Sementara itu Manajer Program Ekonomi Hijau, IESR, Wira A Swadana menerangkan pada 2025, Indonesia perlu meningkatkan ambisinya dalam Enhanced NDC yang saat ini hanya membidik target penurunan emisi sebesar 31,89 persen dengan upaya sendiri dan 43,2 persen dengan bantuan internasional pada tahun 2030.
Target ini dibuat dengan membandingkan proyeksi business as usual (BAU) 2010. Sementara, IESR, dengan menggunakan proyeksi dari data emisi tahun 2020, menemukan bahwa Indonesia dapat menetapkan target ambisi iklim tanpa syarat sebesar 26 persen hingga 2030.
Baca Juga: Prabowo Setop Impor BBM Jika Jadi Presiden, IESR: Tidak Realistis!
Wira menilai peningkatan target ambisi ini lebih tinggi dari target saat ini dan bertujuan agar Pemerintah Indonesia dapat tetap menetapkan target ambisi iklim yang lebih relevan untuk sejalan dengan target Persetujuan Paris agar pemanasan global tidak melebihi 1,5°C.
“Banyak peluang yang Indonesia dapat lakukan agar meningkatkan pencapaian target bauran energi terbarukan yang sejalan dengan Persetujuan Paris. Misalnya dengan menyesuaikan penyusunan SNDC dengan prinsip-prinsip NDC dalam Article 4 Line 13 dari Persetujuan Paris," terangnya.
Selain itu, Indonesia perlu menarik dukungan internasional, berkolaborasi dalam teknologi dan pengetahuan, untuk mendorong pengembangan energi terbarukan agar dapat menerapkan temuan khususunya di bidang mitigasi iklim. Utamanya, pada COP-28 juga didorong untuk meningkatkan target energi terbarukan tiga kali lipat lebih besar atau setara 11 TW pada 2030.
Baca Juga: Suntik Mati PLTU Cirebon-1, IESR: Jauh dari Target Ambisi
Karena itu, Indonesia dapat berkolaborasi dan memperkuat kerja sama dengan Uni Emirat Arab (UAE). Terlebih, Masdar perusahaan asal Uni Emirat Arab, telah terlibat dalam pembangunan PLTS terapung Cirata dan berinvestasi di sektor energi panas bumi, seiring dengan statusnya sebagai investor strategis dalam penawaran umum perdana saham atau IPO PT Pertamina Geothermal Tbk. (PGEO) pada Februari 2023.
"“Kerja sama antara Indonesia dengan negara-negara lain, termasuk UAE, sesungguhnya dapat membantu untuk upaya dekarbonisasi Indonesia untuk memitigasi dampak buruk dari perubahan iklim," pungkasnya.