Skema JETP

JETP Berjalan Lamban, IESR: Kerja Dimulai Pasca-Sekretariat Terbentuk

Manajer Program Transformasi Energi IESR Deon Arinaldo menyayangkan progres skema Just Energy Transition Partnership (JETP) yang berjalan lamban.

Featured-Image
Manajer Program Energi Transformasi, Deon Arinaldo menyayangkan progres JETP yang berjalan lamban. (apahabar.com/Tangkapan Layar: Ayyubi)

bakabar.com JAKARTA -  Manajer Program Transformasi Energi IESR Deon Arinaldo menyayangkan progres skema Just Energy Transition Partnership (JETP) yang berjalan lamban.

Deon mengungkapkan, prosesnya sendiri telah dimulai sejak November 2022. Namun hingga Februari 2023 tidak menghasilkan kemajuan berarti. Baru pada April 2023, terobosan terjadi ketika pemerintah secara resmi membentuk Sekretariat JETP.

Selanjutnya, pada 16 Agustus, sekretariat baru akan mengeluarkan CIPP. Lambatnya pergerakan sekretariat, menurut Deon, mengakibatkan banyak proses yang belum terlaksana.

"Targetnya 16 agustus ini keluar CIPP (context, input, process dan product). Bukannya optimistis, tapi masih banyak proses yang belum terlaksana," terang Deon dalam Diskusi Publik 'Transisi Energi JETP: Apa dan Bagaimana Dia Bekerja?' yang digelar secara daring di Jakarta, Rabu (2/8).

Baca Juga: Dana JETP, ADPMET Usulkan Danai Pendidikan dalam Bidang EBT

Lebih jauh, Deon menuturkan, pihaknya telah mengajukan diri ke pemerintah, yakni Kementerian ESDM agar IESR dilibatkan dalam kegiatan analisis teknis terkait JETP. Usulan itu diutarakan untuk membantu kerja-kerja pemerintah dalam mencapai target transisi energi.

"Kita sendiri tergabung, ada namanya kelompok kerja teknis. Itu dibawah sekretariat langsung," ungkap Deon.

Dalam paparannya, Deon mengungkapkan, tugas IESR sebagai kelompok kerja teknis bertugas untuk mencari jalan keluar, kaitannya dengan penghasilan dari sektor kelistrikan seperti yang telah ditetapkan oleh pemerintah.

Hal itu menjadi usulan IESR, karena target JETP juga bersentuhan dengan sektor kelistrikan secara keseluruhan. Sejauh ini, sektor kelistrikan mencakup perusahaan dan kawasan industri.

Baca Juga: Transisi Energi, KemenESDM Amankan Komitmen Pembiayaan JETP

"Jadi gak hanya PLN, tapi juga pembangkit listrik yang nggak ada hubungan dengan PLN. Sasarannya seperti perusahaan, kawasan Industri di Cikarang, Jawa dan daerah-daerah lainnya," jelasnya

Sebagai informasi, implikasi dari diberlakukannya target emisi, pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) merupakan instrumen penghasil listrik terbesar di tanah air. "Gambarannya begini, PLTU itu 1000 kg/kWh, sedangkan energi terbarukan,  mendekati 0, lalu gas sekitar 400 - 500," papar Deon.

Sementara itu, kajian Financing Indonesia’s Coal Phase out IESR bersama Center for Global Sustainability, Universitas Maryland memaparkan data bahwa untuk memensiunkan 9,2 GW PLTU batu bara di 2030, Indonesia membutuhkan dukungan pendanaan internasional sebesar 4,6 miliar dolar AS pada 2030.

Adapun untuk mendukung upaya dekarbonisasi di sektor ketenagalistrikan, pemerintah akan bekerja sama dengan International Partners Group (IPG) untuk mewujudkan rencana investasi dalam rangka mendukung pensiun dini PLTU dan juga teknologi rendah karbon lainnya.

Baca Juga: Dana JETP, Menko Luhut: 20 Miliar Dollar AS Tak Kunjung Cair 

Kerja sama itu diharapkan bisa menunjang tercapainya target dekarbonisasi sistem kelistrikan Indonesia, antara lain mencapai puncak emisi sektor kelistrikan sebesar 290 juta ton CO2 pada 2030, menyiapkan proyek-proyek PLTU yang harus dipensiunkan lebih awal, serta memastikan capaian bauran energi terbarukan sebesar minimal 34 persen pada 2030.

Khusus terkait dengan pensiun dini PLTU batu bara, kata Deon, "Caranya bisa dipensiunkan dalam arti tidak lagi dioperasikan, atau dikurangi pembangkitan listriknya, atau ada cara lain."

Editor
Komentar
Banner
Banner