bakabar.com, JAKARTA - Ancaman krisis iklim membuat negara-negara maju dan berkembang berupaya mengurangi emisi karbon yang dituangkan dalam 'Perjanjian Paris'. Perjanjian itu merupakan sebuah traktat internasional tentang mitigasi, adaptasi dan keuangan pencegahan perubahan iklim pada tahun 2015.
Persetujuan ini mengawal negara-negara untuk mengurangi emisi karbon dioksida dan gas rumah kaca lain dengan membatasi pemanasan global kepada 'cukup' di bawah 2,0 derajat Celsius.
Dalam perjanjian tersebut, Indonesia menetapkan target Net Zero Emission (NZE) pada 2060 mendatang. Target itu dilakukan secara bertahap dengan target komposisi energi baru terbarukan (EBT) dalam bauran energi sebesar 23% pada 2025 dan 31% pada tahun 2050.
Pemerintah meyakini, target tersebut dapat tercapai mengingat Indonesia memiliki potensi energi baru terbarukan (EBT) yang sangat besar. Namun, ada sejumlah tantangan besar bdalam pengembangan EBT.
Baca Juga: Indonesia EBTKE ConEx 2023, EMITS Dukung Penuh Target NZE 2060
Berdasarkan data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) per 4 Februari 2023, lima besar sumber EBT berasal dari energi surya, angin, air , bioenergi, panas bumi, dan laut yang totalnya mencapai 3.689 gigawatt (GW).
Secara rinci, potensi EBT terbesar Indonesia berasal dari tenaga surya yang mencapai 3.295 gigawatt (GW). Potensi itu terlihat dari meratanya pancaran sinar matahari di seluruh wilayah Indonesia. Urutan kedua berasal dari tenaga angin dengan potensi sebesar 155 GW.
Selanjutnya, berasal dari tenaga air dan laut masing-masing sebesar 95 gw dan 60 gw. Kemudian, potensi EBT berasal dari bioenergi tercatat sebesar 57 gw. Terakhir, berasal dari panas bumi sebesar 24 gw.
Meskipun Indonesia memiliki potensi besar di sektor EBT, namun pemanfaatannya belum maksimal. Data Kementerian ESDM menunjukkan realisasi EBT Indonesia baru mencapai 14,11% pada 2022. Tercatat, kapasitas pembangkit listrik EBT hanya sebesar 12.542,5 megawatt (MW) hingga akhir tahun lalu.
Baca Juga: Interkoneksi Jaringan ASEAN, IESR: Capai Ketahanan EBT di Regional
Pemanfaatan energi EBT masih jauh dari batu bara yang mencapai 67,21% pada tahun 2022. Bahkan pemanfaatan EBT lebih rendah jika dibandingkan dengan pembangkit listrik tenaga gas yang besarnya mencapai 15,96% di tahun yang sama.
Jika dilihat pertahun, pertumbuhan kapasitas terpasang pembangkit listrik EBT Indonesia meningkat, namun tak signifikan. Dalam lima tahun terakhir pertumbuhan pembangkit EBT tak lebih dari 9%.
Data Kementerian ESDM pada tahun 2016 memperlihatkan realisasi bauran pembangkit listrik EBT sebanyak 13%. Sedangkan tahun 2017 (13,1%), 2018 (12,4%), 2019 (12%), 2020 (14%), 2021 (13,65%), dan tahun 2022 sebesar 14.11%. Pertumbuhan tertinggi sebesar 8,77% pada 2022 dan terendah sebesar 3,06% pada 2020.
Lambatnya pertumbuhan bauran EBT di dalam negeri, salah satunya disebabkan oleh minimnya investasinya. Berdasarkan kajian yang dilakukan Institute for Essential Services Reform (IESR), Indonesia memerlukan investasi di sektor energi senilai USD1,3 triliun untuk mencapai NZE pada 2060.
Baca Juga: Belajar Transisi Energi dan Perubahan Iklim, IESR Luncurkan akademi.transisienergi.id
Dengan asumsi tersebut, Indonesia memerlukan investasi EBT sebesar USD30-40 miliar setiap tahun pada 2023-2030. Nilai itu kemudian meningkat menjadi USD40-60 miliar per tahun setelah 2030 hingga 2060.
Sementara itu, data Kementerian ESDM menunjukkan, realisasi investasi EBT di Indonesia tak pernah mencapai USD2 miliar setiap tahunnya. Bahkan, realisasi investasi untuk pengembangan EBT di Indonesia baru sebesar USD9,8 miliar jika diakumulasi sejak 2017-2022. Angka itu jauh dari estimasi IESR untuk kebutuhan pendanaan EBT per tahunnya.
Rendahnya investasi tersebut karena rendahnya daya tarik investasi EBT di Indonesia. Implementasi kebijakan dan kerangka peraturan dinilai inkonsisten. Misalnya saja terkait aturan main pembangkit listrik tenaga surya (PLTS).
Sebelumnya, lewat Peraturan Menteri ESDM Nomor 26 Tahun 2021, pengguna PLTS atap dapat mengekspor kelebihan daya tenaga surya yang dihasilkan kepada PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) atau PLN.
Baca Juga: Target Turunkan Emisi, IESR: Akhiri Operasional PLTU Batu Bara
Imbal hasil dari ekspor daya ini adalah pemotongan bayaran listrik dari PLN. Namun, pemerintah berencana merevisi aturan tersebut, sehingga pemakaian listrik dari PLTS atap hanya bisa dimanfaatkan untuk kepentingan sendiri. Dengan demikian, listrik yang dihasilkan masyarakat dari PLTS atap tak bisa dijual ke PLN.
Tak hanya itu, Direktur Eksekutif IESR Fabby Tumiwa menilai masalah aturan juga terjadi seiring dengan mandeknya pembahasan rancangan Undang-undang (UU) EBT, karena perbedaan pendapat di beberapa klausul.
“Kondisi ini justru memperlihatkan dukungan yang berkepanjangan terhadap bahan bakar fosil dan membuat sinyal beragam bagi para investor,” kata Fabby dilansir dari laporan IESR pada Kamis (13/07).
Menurut Indeks Daya Tarik Negara Energi Terbarukan yang dikeluarkan oleh Ernst & Young (EY), per Juni 2023, Indonesia tak masuk dalam daftar 40 negara teratas.
Baca Juga: Kejar Target NZE 2060, IESR: Perlu Investasi Energi 1,3 T Dolar AS
Posisi Indonesia kalah dibandingkan tiga negara di Asia Tenggara lainnya, sebut saja, Filipina, Vietnam, dan Thailand. Filipina menempati posisi 33 dengan skor sebesar 56,1 poin. Vietnam berada di urutan 29 dengan skor sebesar 55,7 poin. Sementara, Thailand ada di posisi 38 dengan skor sebesar 52,9 poin.
Di satu sisi, untuk menarik investor di sektor EBT, pemerintah harus melakukan perbaikan lingkungan pendukung dalam pengembangan EBT di Indonesia. Usul Fabby, diperlukan juga upaya penghapusan subsidi batu bara dan gas secara bertahap melalui harga kapitalisasi pasar domestik serta reformasi harga dan subsidi listrik.
Untuk itu, IESR meminta pemerintah segera menuntaskan kelebihan kapasitas terhadap pembangkit listrik batu bara yang sudah tidak efisien. “Untuk dapat melakukan semua itu, pemerintah perlu mengejar semua reformasi dengan bantuan masyarakat,” tutupnya.