bakabar.com, JAKARTA - Direktur The Institute for Transportation and Development Policy (ITDP) Faela Sufa mengingatkan pemerintah agar jangan berfokus hanya pada kepentingan kendaraan listrik pribadi, namun lebih memperhatikan kepentingan publik yang lebih besar, seperti pengadaan bus listrik.
Hal lainnya, seperti minimnya permodalan pada infrastruktur publik, serta pemberian insentif yang belum tepat sasaran, menurut Faela harus diperhatikan secara cermat. Hal itu penting untuk menjawab berbagai persoalan yang timbul atas kebutuhan transportasi di masyarakat.
“Mobilitas penduduk di ibu kota yang sangat tinggi pada masa kenormalan baru, harus diimbangi dengan penyediaan transportasi publik yang mudah diakses," kata Faela pad diskusi media mengenai Transisi Energi: Beralih ke Kendaraan Listrik, Lebih Banyak Manfaat atau Mudharatnya?, Jumat (14/4).
Dengan begitu, kehadiran kendaraan listrik menjadi momentum yang tepat jika komitmen pemerintah dalam penyediaan ekosistem elektrifikasi diarahkan untuk menyasar pada transportasi massal.
Baca Juga: Kendaraan Listrik untuk Transportasi Massal yang Keberlanjutan
Contohnya dengan memperbesar insentif untuk pembenahan dan perbaikan bagi kendaraan umum listrik dengan mempertimbangkan keamanan dan kenyamanan pengguna, keterjangkauan harga, serta inklusifitas.
Selain itu, pengurangan emisi karbon dan kemacetan dapat diatasi dengan penataan kota yang terpadu (compact city) yang memungkinkan perjalanan warga menjadi lebih pendek dan tidak bergantung pada kendaraan bermotor pribadi.
Sementara itu, tantangan di lapangan untuk adopsi bus listrik masih ditemukan. Di antaranya adalah biaya investasi yang cukup tinggi, kebijakan publik yang berubah-ubah sehingga menciptakan resistensi dari lembaga keuangan selaku penyedia modal.
Selama ini, perbankan cenderung akan mengeluarkan pinjaman seminimum mungkin karena kurangnya pengalaman dalam perhitungan residu, dan kurangnya dukungan politis.
Baca Juga: Kendaraan Listrik jadi Tren, Jasindo Ungkap Cuan dari Asuransi
"Padahal, jika penggunaan bus elektrik pada 2030 bisa dimaksimalkan hingga 90% di skala nasional, Indonesia berpotensi untuk mengurangi 40% residu Gas Rumah Kaca (GRK),” terang Faela.
Data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) pada November 2022 menyatakan ada sekitar 33.810 unit kendaraan listrik yang aktif digunakan di penjuru negeri. Itu merupakan sinyal baik yang mengarah pada potensi penggunaan kendaraan listrik yang lebih masif untuk publik di masa mendatang.
Namun, perjalanan masih panjang untuk mencapai target 2030 yang ditetapkan oleh ESDM, di mana ditargetkan akan ada 2 juta mobil listrik dan 13 juta motor listrik.
"Maka sangat penting diperhatikan tentang regulasi kendaraan, seperti regulasi terkait kendaraan listrik terutama proporsi kendaraan listrik milik pribadi dan umum," ujarnya.
Baca Juga: EV Kurangi Emisi GRK Namun Toksik pada Manusia, Begini Penjelasannya
Selain itu, penyediaan infrastruktur pengisian daya kendaraan listrik, dan penggunaan kendaraan pengangkut berkapasitas besar seperti truk dan bus harus mulai dipenuhi.
Jika melihat pengembangan kendaraan listrik di lima negara ASEAN, menurut Faela, Indonesia tidak tertinggal jauh. Terbukti dari adanya subsidi/insentif pajak, dan target untuk special fleet (Transjakarta full electric by 2030).
Di sisi lain, Faela menilai salah satu faktor penghambat penerapan bus listrik adalah masih mahalnya harga bus listrik ketimbang bus konvensional yang menggunakan BBM.
“Mungkin yang bisa dilakukan adalah, tidak hanya pembelian di operator-operator kecil, namun pemerintah pusat bisa menginisiasi pembelian dalam jumlah besar,” pungkasnya.