Menuju Pilpres 2024

Pria Asal Morowali di Balik Pencapresan Anies Baswedan

Di Partai NasDem, partai yang mendeklarasikan nama Anies Baswedan lebih awal, ada sosok Ahmad Ali yang selalu pasang badan.

Featured-Image
Ahmad Ali bersama Anies Baswedan di acara deklarasi Relawan IndonesiAnies di Jakarta

Jauh di Morowali, Sulawesi Tengah, Ahmad Ali dilahirkan dari keluarga pengusaha. Seorang penulis di Kompasiana bercerita tentang sosok Ahmad Ali yang masih keturunan Tionghoa. Bapaknya, Haji Sun, adalah warga keturunan. Ketika dia berencana masuk panggung politik, bapaknya sempat berkata:

“Ingat, kamu anak keturunan. Lebih baik kamu jadi pengusaha saja. Tidak usah masuk politik,” kenangnya.

Baca Juga: Jokowi Versus Paloh, Bisakah Nasdem Bertahan?

Tapi Ahmad tidak patah arang. Dia menemui ibunya Hajjah Sya’diah untuk meminta nasihat. Ibunya berkata: “Jadilah orang yang berguna bagi orang lain. Jika di politik kamu merasa bisa berguna untuk orang lain, lakukanlah.”

Ahmad tersentuh oleh kalimat ibunya. Kalimat ini lalu menjadi semacam kompas baginya untuk mengarungi dunia politik. Dia ingin bisa memberi manfaat bagi banyak orang melalui dunia politik.

Sebelum masuk ke dunia politik, dia sudah menempa dirinya di berbagai organisasi. Dia cukup lama berkecimpung di Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Cabang Palu. Di organisasi ini, dia membangun jejaring dengan banyak orang. Daya nalar dan intelektualitasnya pun terasah di organisasi ini.

Ahmad bukan tipe politisi yang langsung melompat ke puncak. Karier politiknya dimulai dari bawah. Tahun 2009, saat dirinya terpilih sebagai anggota DPRD Morowali dari Partai Patriot Pancasila. Selama di DPRD Morowali, dia tercatat tidak pernah mengambil gajinya karena langsung disumbangkan untuk pembangunan rumah ibadah, honor imam masjid, dan para marbot atau penjaga masjid.

Dia hanya bertahan dua tahun di DPRD, kemudian memilih mundur sebab merasa tidak bisa berbuat banyak. Kursi partainya hanya dua, sehingga tidak berdaya dalam pengambilan keputusan di dewan. Selain itu, ia juga melihat banyak praktik politik yang tidak sesuai dengan idealismenya.

“Di dewan itu, hitam dan putih bisa diatur. Semuanya tergantung kesepakatan. Banyak hak rakyat dikorbankan karena semua orang berpikir untuk kepentingan pribadinya,” katanya dalam satu kesempatan.

Uniknya, ketika mundur, pimpinan dewan tidak serta-merta memproses pengunduran diri itu atas desakan masyarakat. Ada sejumlah orang yang meminta dirinya tidak dimundurkan dulu karena masih mengharapkan gajinya untuk pembangunan masjid.

HALAMAN
123
Editor


Komentar
Banner
Banner