bakabar.com, JAKARTA – Kabareskrim Polri Komjen Pol Listyo Sigit Prabowo menyebut tren kasus lingkungan hidup pada lingkup UU Perkebunan, Kehutanan, dan Pertambangan telah diungkap sebanyak 455 kasus sepanjang 2020 ini.
Kasus tersebut didominasi pelanggaran hukum penambangan ilegal dan tindak pidana perkebunan.
Dari ratusan perkara yang diungkap itu, ditemukan fakta bahwa aktivitas ilegal tersebut mengakibatkan terjadinya bencana alam.
Seperti banjir bandang dan tanah longsor, seperti yang terjadi di Sumatera Barat, Sumatera Selatan, Banten, Jawa Barat, Jawa Timur, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah dan Sulawesi Tenggara.
Dari 455 kasus yang diungkap Bareskrim sepanjang tahun 2020, setidaknya ada 620 orang yang telah ditetapkan sebagai tersangka.
Angka itu tentu saja naik lebih dari tiga kali lipat dibanding jumlah tersangka pada tahun 2019 yakni 197 tersangka.
Atas perbuatannya para tersangka dijerat dengan Pasal 89 ayat (2) Huruf a UU Nomor 18 Tahun 2013 Tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan dengan ancaman maksimal 20 tahun serta Pasal 161 dan atau Pasal159 UU Nomor 4 Tahun 2009 Tentang Pertambangan Mineral dan Batubara dengan ancaman pidana paling lama 10 tahun.
Untuk kasus penambangan ilegal pada tahun 2020 ada 393 kasus. Dan 226 diantaranya telah diselesaikan.
Sementara di tahun 2019, ada 108 kasus kejahatan penambangan ilegal. Dan 70 diantaranya sudah diselesaikan.
Sedangkan untuk jumlah kejahatan tindak pidana perkebunan pada 2020 ada 62 kasus. Dan 19 diantaranya telah diselesaikan.
Sementara di tahun 2019, jumlah kejahatan tindak pidana perkebunan ada 61 kasus. Dan 45 diantaranya rampung.
Sigit menyebut bahwa penegakkan hukum atas kasus kejahatan lingkungan hidup digalakkan demi mencegah terjadinya bencana alam yang menimbulkan kerugian materiil maupun memakan korban jiwa masyarakat.
Modus Operandi
Sepanjang perjalanan pengungkapan kasus terdapat indikasi pelanggaran hukum yang dilakukan. Baik oleh perorangan maupun korporasi.
Kepala Bareskrim mengungkap dari hasil penyelidikan tim Bareskrim di beberapa titik bencana awal 2020.
Ditemukan adanya indikasi pelanggaran hukum yang dilakukan oleh korporasi maupun masyarakat dalam melakukan aktivitas penambangan tanpa izin.
Modus operandi penambangan ilegal diantaranya adalah melakukan kegiatan penambangan di wilayah hutan tanpa izin yang sah dari menteri.
Melakukan kegiatan penambangan tanpa izin usaha pertambangan yang sah.
Melakukan kegiatan penambangan di luar koordinat izin usaha pertambangan.
Melakukan pemanfaatan dan pengolahan hasil tambang tanpa izin, setiap orang yang dengan sengaja merintangi atau mengganggu kegiatan usaha pertambangan yang telah memiliki IUP OP, pemegang IUP OP menyampaikan laporan tidak sesuai atau palsu dan tidak melaksanakan reklamasi pascatambang.
Kemudian modus operandi tindak pidana perkebunan, yaitu melakukan kegiatan usaha perkebunan tanpa izin usaha perkebunan.
Melakukan kegiatan usaha perkebunan di luar izin lokasi/ Izin Usaha Perkebunan.
Melakukan usaha-usaha perkebunan di dalam kawasan hutan, membuka lahan dengan cara membakar, mengerjakan, menggunakan, menduduki atau menguasai lahan perkebunan.
Berujung Bencana
Mantan Kadiv Propam Polri ini menambahkan mengenai penyelidikan penyebab bencana di Provinsi Banten pada Januari 2020 yang dilakukan oleh Bareskrim bersama dengan Kementerian LHK, ditemukan lebih dari 40 titik tambang ilegal yang menyebabkan banjir dan longsor.
“Saat itu dari hasil penyelidikan bersama dengan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, ada kurang lebih 40 titik (aktivitas tambang ilegal) telah ditutup dan dilakukan pemeriksaan para pelakunya,” ujar Sigit.
Selanjutnya aktivitas penambangan emas ilegal juga ditemukan penyidik Bareskrim dari hasil penyelidikan penyebab bencana di Kabupaten Solok, Sumbar pada akhir 2019 dan awal 2020.
“Terhadap peristiwa bencana di Solok, temuan tim Bareskrim dan Polda Sumbar yaitu bahwa selain faktor cuaca (alam), bencana juga diakibatkan oleh pertambangan tanpa izin dan pembalakan liar,” kata perwira tinggi Polri kelahiran Ambon itu.
Namun hal yang berbeda ditemukan dalam penyelidikan peristiwa banjir dan longsor di daerah Bondowoso dan Jember, Jawa Timur, yang terjadi pada akhir bulan Januari 2020.
Temuan di Jawa Timur diketahui bahwa banjir dan longsor terjadi karena adanya alih fungsi lahan konservasi menjadi perkebunan dan sisa-sisa pembakaran hutan dan lahan.
“Di Bondowoso dan Jember, hasil penyelidikan terdapat dua hal yaitu alih fungsi lahan menjadi perkebunan dan dari sisa-sisa karhutla terbawa arus sungai sehingga berdampak semakin meningkatnya debit air saat curah hujan tinggi,” ujar Sigit.
Peristiwa bencana banjir di Konawe, Sultra pada Maret 2020 juga tidak luput dari perhatian Bareskrim Polri.
Saat itu, diduga terdapat beberapa perusahaan yang bergerak di bidang pertambangan nikel melakukan aktivitas di sekitar lokasi terjadinya bencana banjir yang merendam 33 kecamatan tersebut.
Dugaan aktivitas penambangan dilakukan di luar kawasan IUP maupun kawasan hutan lindung.
“Temuan tim (Bareskrim) di (Konawe) Sultra bahwa selain faktor alam (juga) diperparah aktivitas seperti pembukaan lahan untuk kebun. Hal ini diperkuat dengan adanya fakta beberapa perusahaan tambang yang beroperasi di sekitar wilayah terdampak banjir tersebut,” kata Sigit.
Di sisi lain, penanganan karhutla tercatat ada 131 kasus. Pada tahun ini mengalami penurunan signifikan karena upaya pencegahannya telah dimulai sejak awal tahun oleh semua pihak.
“Karhutla dapat ditekan berkat kerja sama yang dilakukan oleh Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, Polri, TNI, Kementerian dan seluruh masyarakat,” imbuh mantan Kapolda Banten ini.