Dana Bansos

PKJS-UI Soroti Harga Rokok Murah Jadi Penyebab Penyalahgunaan Dana Bansos

Pusat Kajian Jaminan Sosial Universitas Indonesia (PKJS-UI) mengungkapkan masyarakat masih menggunakan dana bantuan sosial (bansos) untuk membeli rokok.

Featured-Image
Perokok di Kalsel mengeluhkan wacana larangan penjualan rokok batangan. Foto ilustrasi-Kompas

bakabar.com, JAKARTA – Pusat Kajian Jaminan Sosial Universitas Indonesia (PKJS-UI) mengungkapkan masyarakat masih menggunakan dana bantuan sosial (bansos) untuk membeli rokok.

Ketua Tim Riset PKJS-UI Aryana Satrya menjelaskan bahwa alasan pembelian rokok masih dilakukan karena harganya yang masih terjangkau oleh masyarakat.

“Harga rokok masih murah dan dapat dibeli ketengan. Studi PKJS-UI tahun 2022 menunjukkan harga rokok per bungkus, yaitu rerata Rp30.000. Itu masih bisa dibeli secara ketengan dengan harga murah, yaitu Rp2.000 per batang,” ujarnya dalam keterangan tertulis, Jumat (31/3).

Baca Juga: Harga Eceran Rokok Naik di 2023

PKJS-UI meluncurkan penelitian mengenai “Penguatan Kebijakan Pengendalian Rokok pada Penerima Bantuan Sosial di Indonesia”.  Studi menyimpulkan bahwa masih banyak penerima bansos yang masih membeli rokok batangan.

Berdasarkan studi tersebut masyarakat miskin di DKI Jakarta, masih rajin melakukan pembelian rokok dengan dana dari bansos. Terdapat pilihan produk rokok dengan harga yang lebih murah, dan adanya iklan rokok yang terpasang di warung menarik perhatian untuk membeli rokok.

“Data Global Adult Tobacco Survey tahun 2011 menunjukkan sebanyak 75,3% orang menyadari adanya iklan, promosi, dan sponsor rokok,” imbuhnya.

Implementasi Keputusan Menteri Sosial (Kepmensos) No. 175 Tahun 2022 tentang Pengendalian Konsumsi Rokok di Lingkungan Kementerian Sosial masih memiliki tantangan.

Alasannya karena ketidakcukupan sumber daya untuk melaksanakan pengawasan dan berbagai kendala dari aspek eksternal.

Baca Juga: Naik Tarif Cukai Rokok Demi Cuan Semata?

Rekomendasi strategi pengendalian konsumsi rokok pada penerima Bansos, yaitu kolaborasi pada kegiatan Pertemuan Peningkatan Kemampuan Keluarga (P2K2) dengan klinik Upaya Berhenti Merokok (UBM).

Sekaligus mendorong kenaikan harga dan meminimalkan variasi harga rokok agar semakin tidak terjangkau.

Undang-Undang (UU) Nomor 11 Tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial dan UU Nomor 13 Tahun 2011 Tentang Penanganan Orang Miskin menyebutkan bahwa kelompok masyarakat miskin dan rentan memiliki hak dalam perlindungan sosial.

Sehingga setiap keluarga memiliki pemenuhan kebutuhan dasar minimum, sebagaimana hal ini telah diatasi pemerintah melalui adanya program bantuan sosial.  

Baca Juga: Negara Merugi Triliunan Rupiah, CISDI Dukung Kenaikan Cukai Rokok!

Diketahui, Pemerintah Indonesia telah menyalurkan berbagai bentuk bansos, di antaranya Program Keluarga Harapan (PKH), Bantuan Pangan Non Tunai, Program Indonesia Pintar (PIP), dan penerima Jaminan Kesehatan Nasional (JKN).

Tujuan pemberian bansos ini salah satunya sebagai jaminan sosial agar masyarakat dapat memenuhi kebutuhan dasar hidupnya yang layak. Namun, kondisi di lapangan masih menunjukkan adanya kemungkinan penyalahgunaan dana bantuan sosial untuk belanja rokok.

Temuan studi Dartanto, et al. (2021) menunjukkan bahwa terjadi kecenderungan peningkatan konsumsi rokok pada keluarga penerima bantuan sosial.

Hal ini seakan sejalan dengan data Survei Sosial Ekonomi Nasional tahun 2019 yang menunjukan bahwa rokok merupakan pengeluaran 5 besar konsumsi utama pada rumah tangga miskin.

Baca Juga: Harga Rokok Naik, Masyarakat Tetap Beli Walaupun Mahal

Presiden Republik Indonesia, Joko Widodo, telah menekankan bahwa dana bantuan sosial tidak boleh digunakan untuk membeli rokok. Hal itu, tertera dalam Kepmensos Nomor 175 Tahun 2022 tentang Pengendalian Konsumsi Rokok di Lingkungan Kementerian Sosial.

“Studi ini bertujuan untuk merumuskan rekomendasi kebijakan lingkup internal dan eksternal Kementerian Sosial untuk memperkuat pengendalian konsumsi rokok pada penerima bantuan sosial di Indonesia,” jelasnya.

Editor
Komentar
Banner
Banner