Proyek Food Estate

Petani Butuh Keadilan dan Dukungan Distribusi, Bukan Food Estate

Tiga tahun setelah dicanangkan sebagai Proyek Strategis Nasional (PSN), proyek lumbung pangan atau food estate terus menuai polemik.

Featured-Image
Sumber foto Instagram Syasinlimpo Menteri Pertania

bakabar.com, JAKARTA - Tiga tahun setelah dicanangkan sebagai Proyek Strategis Nasional (PSN), proyek lumbung pangan atau food estate terus menuai polemik.

Klaim keberhasilan food estate dalam meningkatkan produktivitas pangan oleh Menteri Pertanian dan Gubernur Kalimantan Tengah, berbanding terbalik dengan fakta di lapangan.

Proyek ini justru menemui banyak permasalahan, yakni banyak terjadi gagal panen, perambahan hutan dan tanah masyarakat adat, hingga akhirnya berdampak pada terjadinya bencana alam serta konflik sosial.

Kritik Keras

Kritik keras telah disampaikan oleh akademisi, organisasi masyarakat, hingga pakar politik. Mereka berpandangan bahwa membangun kedaulatan pangan seharusnya berorientasi pada pemberdayaan pangan lokal dengan pelibatan masyarakat setempat.

Baca Juga: Ramai Hilirisasi Minerba, Jokowi: Perikanan dan Pertanian Juga

Selain itu, proyek hendaknya mengindahkan aspek keseimbangan lingkungan, keberlanjutan, dan tradisi masyarakat lokal. Bukan dengan ekstensifikasi lahan yang mengabaikan faktor ekologi dan sosial.

“Data BKN 2021 tentang Indeks Ketahanan Pangan Indonesia menunjukkan bahwa ketersediaan komoditas beras, ikan, dan minyak goreng sudah jauh melebihi konsumsi nasional," ungkap Angga Dwiartama, Dosen dan Peneliti Sosiologi Pertanian-Pangan, Institut Teknologi Bandung (ITB), pada acara Diskusi Media “Food Estate: Untuk Membangun Kedaulatan Pangan?” dikutip Sabtu (4/3).

Namun sayangnya, di daerah seperti Papua terjadi kerentanan pangan yang sangat tinggi. Oleh karena itu, masalah utama pangan terletak pada sisi keadilan dan distribusi.

"Yakni dari harga yang harusnya terjangkau, ketersediaan akses, serta pemenuhan hak-hak para petani," ujarnya.

Baca Juga: Pembangunan Pertanian Berkelanjutan, Kalbar Buat Pupuk Secara Mandiri

Lebih lanjut, Angga menekankan bahwa sistem kedaulatan pangan di Indonesia telah mengalami pergeseran dengan menjustifikasi tindakan pembukaan lahan untuk proyek food estate.

Sehingga tujuan utama untuk pemenuhan pangan melalui sistem pangan dan sumber daya lokal (seperti diamanatkan di dalam UU No.18 tahun 2012 tentang Pangan) justru menjadi terlupakan.

"Pertanian yang bersifat monokultur dan berskala besar akan membuat keanekaragaman hayati Indonesia dari sangat kaya di alam tropis, menjadi sangat rentan akan kerusakan ekologi," terangnya.

Ditanam di lahan gambut

Senada, Wahyu A. Perdana selaku juru kampanye Pantau Gambut mengungkapkan fakta bahwa penggunaan alokasi anggaran yang cukup besar sebanyak Rp1,5 triliun untuk proyek food estate di tahun 2021-2022 terbukti belum mampu mengakselerasi hasil panen.

Baca Juga: Meningkatkan Ketahanan Pangan, Warga Pulau Setunak Kembangkan Pertanian Hidroponik

Hal tersebut terjadi akibat lahan yang ditanami sebagian besar merupakan lahan gambut yang selalu basah dan memiliki tingkat keasaman cukup tinggi, sehingga tidak cocok dengan komoditas pertanian skala besar.

Dari riset yang dilakukan Pantau Gambut, empat wilayah Kesatuan Hidrologis Gambut (KHG) di Kalimantan Tengah terindikasi masuk ke dalam tingkat kerentanan tinggi (high risk) Karhutla.

"Diantaranya, 190.395 hektare pada KHG Sungai Kahayan-Sungai Sebangau yang termasuk ke dalam wilayah food estate juga berada dalam kondisi yang sama rentannya," ungkap Wahyu.

Klaim Mentan

Sebelumnya, Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo mengeklaim tiga program food estate di Kalimantan Tengah, Humbahas, dan Sumba Tengah telah berhasil dalam hal produktivitas, meski memang masih ada beberapa ratus hektare yang gagal.

Baca Juga: Kementan Ciptakan 5.000 Usahawan Milenial di Sektor Pertanian Lewat Program 'YESS'

Syahrul mengatakan program food estate yang ada di Kalimantan Tengah seluas 30 ribu hektare di lahan rawa itu tingkat keberhasilannya cukup baik, meski ada lahan eksisting, intensifikasi dan, ekstensifikasi. Dimana lahan yang gagal tidak lebih dari 200-300 hektare.

"Yang gagal tidak lebih dari 200-300 hektare, itu biasa dalam hal ini, dari 30 ribu hektare yang gagal 1.000 hektare pun itu hal wajar," terang Syahrul Yasin Limpo saat rapat kerja bersama Komisi IV DPR RI, Senin (11/4/2022).

"Kami merasa tidak gagal karena produktivitas dilaporkan paling tinggi dulu 2,6 ton per hektare, 3,2 ton per hektare, sekarang dilaporkan sudah 4 ton per hektare," tambahnya.

Begitu juga di Kabupaten Humbag Hasundutan (Humbahas) provinsi Sumatera Utara dianggap berhasil dalam hal produktivitas, meskipun ada kendala penambahan lahan karena tarik menarik dengan masyarakat sekitar terkait tanah adat. Sehingga baru terealisasi 215 hektare dari target 1.000 hektare.

Editor
Komentar
Banner
Banner